Sebelum kita mempunyai niat untuk melangkahkan kaki ke negara arab saudi/ saudi arabia, kita harus mengenal tradisi dan kebudayaan di Negara
Arab Saudi, diantaranya:
1.
Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa
mayor di dunia yang dituturkan oleh lebih dari 200 juta jiwa dan digunakan
secara resmi di lebih dari 22 negara. Secara umum bahasa Arab memiliki dua
varietas, pertama bahasa Arab Fusha (bahasa Arab standar/baku) dan kedua bahasa
Arab `Amiyyah (bahasa Arab pasaran). Varietas yang pertama umumnya digunakan
dalam komunikasi resmi seperti dalam sekolah, kantor, seminar, dilpomatik,
berita, buku-buku, majalah, dokumen-dokumen resmi dan sebagainya. Sedangkan
varietas kedua, sering digunakan untuk keperluan komunikasi atau percakapan
sehari-hari oleh warga kebanyakan dari segala kalangan baik yang terpelajar
maupun yang buta huruf.
2.
Meskipun warga Arab Saudi umumnya beragama
Islam (mungkin 100%), ini tidak berarti bahwa cara dan etika mereka dalam
berkomunikasi selalu santun seperti diajarkan Al-quran dan Sunnah. Sebagian
dari cara mereka berkomunikasi bersifat kultural semata-mata. Ini penting
dipahami oleh orang-orang yang akan berziarah/berkunjung ke Arab Saudi baik
untuk menunaikan ibadah umrah dan haji, apalagi untuk bekerja sebagai diplomat,
pebisnis, pegawai, teknisi, perawat, TKI atau TKW untuk mengatasi
mis-komunikasi (kesalahpahaman) dan konflik yang mungkin akan mereka/kita alami
ketika berhubungan dengan orang Arab, karena bagaimanapun mereka akan lebih
banyak berkomunikasi dengan warga pribumi.
3.
Gaya komunikasi orang Arab, seperti gaya
komunikasi orang-orang Timur Tengah umumnya, bebeda dengan pembicara
orang-orang Barat (Amerika atau Jerman) yang berbicara langsung dan lugas.
Dengan kata lain, orang Arab masih tidak berbicara apa adanya, masih kurang
jelas dan kurang langsung. Umumnya orang Arab suka berbicara berlebihan dan
banyak basi-basi (mujamalah). Misalnya, bila seorang Saudi bertemu temannya, maka
untuk sekedar tanya kabar, tak cukup sekali dengan satu ungkapan, tapi
berkali-kali. Disamping itu bila seorang Saudi mengatakan tepat seperti yang ia
maksudkan tanpa pernyataan yang diharapkan, orang Saudi lainnya masih mengira
yang dimaksudkannya adalah kebalikannya. Kata sederhana `La` (dalam bahasa Arab
`Tidak`) yang diucapkan tamu tidaklah cukup untuk menjawab permohonan pribumi
agar tamu menambah makan dan minum. Agar pribumi yakin bahwa tamunya memang
betul-betul sudah kenyang, tamu itu harus mengulangi `La` beberapa kali,
ditambah dengan sumpah seperti `Demi Allah` (`Wallah`).
4.
Sejak kanak-kanak orang Arab dianjurkan
untuk mengekspresikan perasaan mereka apa adanya, misalnya dengan menangis atau
berteriak. Orang Arab terbiasa bersuara keras untuk mengekspresikan kekuatan
dan ketulusan, apalagi kepada orang yang mereka sukai. Bagi orang Arab, suara
lemah dianggap sebagai kelemahan atau tipu daya. Tetapi suara keras mereka
boleh jadi ditafsirkan sebagai kemarahan oleh orang yang tidak terbiasa mendengar
suara keras mereka. Maka pasti akan banyak yang mengira, kalau bicaranya
seperti marah ketika seorang pegawai Arab misalnya, sedang memeriksa paspor,
iqamah, dsb. Saya menduga banyak TKI/TKW di Arab Saudi yang belum memiliki
pemahaman memadai tentang bahasa Arab boleh jadi mengidentikkan suara majikan
mereka yang keras itu dengan kemarahan, meskipun majikan itu sesungguhnya tidak
sedang marah. Sebaliknya, senyuman wanita kita (termasuk TKW) kepada orang
Arab/majikan pria mereka yang mereka maksudkan sebagai keramahtamahan atau
kesopanan, boleh jadi dianggap sebuah `godaan` oleh majikan pria mereka.
Kesalahpahaman antarbudaya semacam ini, bisa tidak terhindarkan meskipun
majikan dan TKW sama-sama Muslim. Mungkinkah problem TKW di Arab Saudi seputar terjadinya
pelecehan seksual sebagaimana sering kita baca atau dengar, seperti kasus;
`majikan Arab memerkosa atau menghamili TKW` dsb berkaitan dengan
kesalahpahaman antarbudaya ini? Bisa jadi.
5.
Budaya/tradisi Arab mementingkan
keramahtamahan terhadap tamu, kemurahan hati, keberanian, kehormatan, dan
harga-diri. Nilai kehormatan orang Arab terutama melekat pada anggota
keluarganya, khususnya wanita, yang tidak boleh diganggu orang luar. Di Arab
Saudi wanita adalah properti domestik. Di Saudi, adalah hal yang lazim jika
seorang pria tidak pernah mengenal atau bahkan sekadar melihat wajah istri atau
anak perempuan dari sahabatnya, meskipun mereka telah lama bersahabat dan
sering saling mengunjungi. Juga tidak lazim bagi seorang pria untuk memberi
bingkisan kepada istri sahabat prianya itu atau anak perempuannya yang sudah
dewasa. Karena itu saran saya, tak usahlah kita coba-coba sok ramah,
berlama-lama memandang, apalagi menggoda atau mengganggu.
6.
Aturan/rambu-rambu lalu lintas yang berlaku
di Arab Saudi berbeda 180º dengan aturan yang berlaku di negara kita. Di
Indonesia, setiap pengguna jalan umum baik kendaraan pribadi maupun
kendaraan/angkutan umum semua wajib berada di jalur kiri jalan (dan letak roda
kemudi mobil berada di bagian kanan). Demikian pula waktu menaikkan atau
menurunkan penumpang semua berada di jalur kiri. Karena itu penumpang di
Indonesia jika ingin turun dari kendaraan umum, biasanya mereka bilang `Kiri
Pak Sopir !`. Hal ini berbeda sama sekali dengan apa yang berlaku di Arab
Saudi, semua pengguna jalan termasuk waktu menaikkan maupun menurunkan
penumpang berada di jalur sebelah kanan jalan. Demikian pula waktu menaikkan
maupun menurunkan penumpang, mereka wajib menepi ke sebelah kanan jalan. Apa
jadinya jika tradisi lalu-lintas di negeri sendiri ini tetap `kita pertahankan
dan kita bawa` saat kita berada di Arab Saudi? Sebuah features yang dimuat di
sebuah surat kabar Arab Saudi (1999) pernah penulis baca: `Tingginya frekwensi
kecelakaan lalu-lintas yang menimpa sopir pemula asal Indonesia, diduga karena
perbedaan rambu-rambu lalu-lintas yang berlaku di Arab Saudi. Sementara
kecelakaan yang menimpa warga pribumi Saudi, umumnya menimpa remaja usia 15-25
tahun disebabkan ugal-ugalan`.
7.
Ada kesan, pandangan orang Saudi terhadap
warga negara Indonesia agak `stereotif`. Diantara bangsa-bangsa yang datang
berkunjung ke Saudi Arabia apapun motif dan tujuannya, orang-orang asal
Indonesia termasuk yang paling mudah diidentifikasi, baik dari segi fisik
(sebagaimana umumnya orang Asia Tenggara, orang Indonesia termasuk kelompok
bangsa yang berfisik tidak tinggi dan tidak besar), segi pakaian maupun cara
berjalan. Mungkin karena begitu banyaknya saudara-saudara kita yang muqim di
Saudi baik sebagai TKI maupun TKW, maka kesan pukul rata (generalisasi) itu
tidak jarang menimpa saudara kita jama`ah haji. Karena itu tidak usah
dimasukkan di dalam hati jika suatu ketika ada di antara kita yang `disangka
TKI/TKW` dan merasa kurang `dihargai` sebagai tamu Allah oleh orang Saudi
ketika kita sedang di Arab Saudi, terutama di saat kita berjalan-jalan tanpa
kostum atau identitas jama`ah haji.
8.
Bagi orang Saudi, rumah betul-betul menjadi
bagian privacy yang tak semua orang bisa mengakses ke dalam dengan mudahnya,
sebagaimana kebiasaan kita di Indonesia. Desain rumah yang umumnya `hanya`
berbentuk segi empat bertingkat seolah-olah menggambarkan bangunan sebuah
benteng yang sulit ditembus. Faktanya memang benar, setiap rumah selalu ditutup
dengan pagar tembok tinggi, dengan pintu gerbang bisa berlapis-lapis. Apa yang
ada di balik tembok adalah sebuah privacy yang tidak boleh dikonsumsi oleh
publik. Karena itu saya menyarankan untuk tidak tengak-tengok atau tolah-toleh
mengamati pintu di depan rumah orang Saudi atau sekedar melihat-lihat bangunan
bagian atas. Sebab, umumnya mereka sangat tidak respek dengan perilaku seperti
ini, bisa jadi mereka mengira kalau orang itu adalah `harami` alias `maling`
atau penculik yang sedang mengintai mangsa.
9.
Busana orang Saudi hampir semua sama. Mereka
semua memakai pakaian putih yang biasa disebut `tsaub` dengan sorban motif
kotak-kotak kecil berwarna putih-merah plus diikat dengan `igal` di kepala.
Performance orang Saudi yang demikian wibawa seringkali membuat orang-orang
Indonesia yang baru melihat atau mengenalnya menjadi ciut nyali, minder, kurang
percaya diri bahkan tak jarang yang menjadi takut, sehingga menimbulkan adanya
semacam jarak pemisah yang membatasi dalam pergaulan. Akibat berikutnya yang
biasanya menimpa adalah adanya perasaan rendah diri di dalam perasaan orang-orang
Indonesia ketika berhadap-hadapan dengan orang Saudi. Hal semacam ini
seharusnya tidak perlu terjadi, mengingat tak ada yang membedakan antara Arab
maupun bukan Arab, kecuali hanya taqwanya. Saya menduga, kultur Jawa yang
melekat kuat mengiternalisasi di dalam pribadi orang-orang kita kebanyakan,
yang biasanya terkenal sebagai orang yang nriman, ngalah, dan rendah hati
memberi andil yang kuat terhadap munculnya perasaan rendah diri di hadapan
bangsa lain seperti ini. Dalam kasus-kasus tertentu kelemahan seperti ini
justru `dimanfaatkan` oleh oknum orang Saudi untuk mem-pressure, menganiaya
bahkan memperbudak saudara-saudara kita di Saudi. Idealnya kita tetap harus
merasa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, dengan tetap menjunjung
tinggi etika pergaulan global yang egaliter dan jauh dari sifat arogan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung Yang Baik Selalu Meninggalkan Komentar Yang Bijak dan Tidak Menyinggung
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda