Assalamu’alaikum
sahabat, ukhty wa akhyfillah…..
Pernahkah
kalian mendengar cerita tentang kisah cinta salman al farisi ?
Yah,
salman al farisi adalah sahabat Rosulullah SAW yang patut untuk kita contoh,
terutama untuk kaum adam. Salman al farisi adalah sosok pemuda yang sangat
tangguh lagi berhati mulia. Ia tegar dan rela berkorban manakala lamarannya ditolak oleh
seorang wanita salehah yang ia cintai dan wanita itu lebih memilih pengantar yang
mendampinginya untuk melamar sang putri. Meskipun demikian, salman tidak pernah
mempunyai rasa benci atau dendam…..oleh sebab itu, mari kita saksikan kisah
cinta salman al farisi yang mengandung banyak hikmah tersendiri sehingga dapat
membuat kita bermuhasabah.
Kisah Cinta
Salman Al-Farisi
Salman
Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya
sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci. Tapi bagaimanapun, ia
merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah
tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang
belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu
menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang
akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka
disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’. ”Subhanallaah.
. wal hamdulillaah. .”, girang Abu Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum
bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah
kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah
dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa. ”Saya adalah Abu Darda’, dan
ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan
Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia
memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni. ”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati. ”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut
itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda
berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa
puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga
memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban
mengiyakan.”
Jelas
sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum
punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara. ”Allahu
Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku
serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
~~~~ooooo~~~~
Cinta
tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar –untuk tidak mengatakan ’merasa dikhianati’-, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah.
Demikianlah
kisah cinta salman al farisi yang sangat berbeda jika kita bandingkan dengan
kisah cinta Ali dan Fatimah putri Rosulullah. Dan mulai saat ini, silahkan anty
wa antum membuat pilihan. Memilih kisah cinta seperti ali dan Fatimah yang
saling mencintai dalam diam, atau kisah cinta salman al farisi yang akhirnya
ditolak oleh orang yang dicintai. La tahzan, Allah bersama kita. Allah tahu
yang terbaik untuk kita. Serahkan segalanya kepada Allah. Allah lah yang akan
mengurus segalanya, hingga cinta itu berakhir dengan indah. “CINTA TAK HARUS
MEMILIKI” .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung Yang Baik Selalu Meninggalkan Komentar Yang Bijak dan Tidak Menyinggung
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda