assalamualaikum photo assalaamualaikum11.gif

Jumat, 10 Mei 2013

Aku Telah di Khitbah




Aku hanya seorang gadis biasa. Tiada kelebihan yang teristimewa, aku juga tidak punya apa-apa yang begitu menonjol. Jalan ku juga dua kaki, caraku melihat juga menggunakan mata, sama seperti manusia lain yang menumpang di bumi Allah ini. Aku tidak buta, tidak juga tuli maupun bisu. Aku bisa melihat dengan sepasang mata pinjaman Allah, aku bisa mendengar dengan sepasang telinga pinjaman Allah juga aku bisa berbicara dengan lidahku yang lembut tidak bertulang. Sama seperti manusia lain. Aku bukan seperti bundanya Syeikh Qadir al-Jailani, aku juga tidak sehebat srikandi Sayyidah Khadijah dalam berbakti, aku bukan sebaik Sayyidah Fatimah yang setia menjadi pengiring ayahanda dalam setiap langkah perjuangan memartabatkan Islam. Aku hanya seorang hamba yang sedang mengembara di bumi Allah, jalanku kelak juga sama yaitu Negeri Barzakh, insya Allah. Destinasi aku juga sama seperti kalian, Negeri Abadi. Tiada keraguan dalam perkara ini.
Sejak dari hari istimewa itu, banyak sahabat yang memuji wajahku berseri dan mereka yakin benar aku sudah dikhitbah apabila melihat ku memakai cincin di kedua tangan di jari manis. Aku hanya tersenyum, tidak mengiyakan dan tidak pula menidakkan. Diam ku bukan membuka pintu-pintu pertanyaan dan rasa penasaran sahabat- sahabatku, tetapi diam ku karena aku belum mampu memperkenalkan insan itu, insane yang telah mengkhitbahku. Sehingga kini, aku tetap setia dalam penantian. Ibupun bertanyakan tentang suatu hal yang sewajarnya aku jawab dengan penuh tatasusila.
"nanti kalau nikah mau pakai baju warna apa ndok?"
Aku menjawab tenang..
"Warna putih, bersih buk..."
"Alhamdulillah, ibu akan usahakan dalam waktu terdekat." Jawab ibu

"Ibu, 4 meter sudah cukup untuk sepasang jubah. Jangan berlebihan." pintaku
Ibu angguk perlahan.
Beberapa hari ini, aku terus membaca dan mempelajari satu per satu, helaian demi helaian lembaran buku yang begitu menyentuh sanubariku sebagai hamba Allah. Malam Pertama...ya itulah judul buku yang sering kubuka. Sukar sekali aku ungkapkan perasaan yang bersarang, ingin rasanya aku menangis sejadinya tetapi sudah aku ikrarkan, biarlah Allah juga yang menetapkan hari yang tepat karana aku akan sabar menanti hari bahagia tersebut. Mudah-mudahan aku terus melangkah tanpa menoleh ke belakang lagi. Mudah-mudahan ya Allah.
                Sejak hari pertunangan itu, aku semakin banyak mengulang al-Quran. Aku ingin, sebelum tibanya hari yang aku nantikan itu, aku sudah khatam al-Quran, setidak-tidaknya nanti hatiku akan tenang dengan kalamullah yang sudah meresap ke dalam darah yang mengalir dalam tubuh. Mudah-mudahan aku tenang. As-Syifa' aku adalah al-Quran, yang setia menemani dalam resah aku menanti. Benar, aku sedang membujuk gelora hati. Mau pecah jantung menanti detik pernikahan tersebut, begini rasanya orang-orang yang mendahului.
"Kak, siapa tunangan kakak? Mesti hebat orangnya. Iya kan kak, sarjana kesehatan juga?"Tanya adikku penasaran
Aku tersenyum, mengulum sendiri setiap rasa yang singgah. Maaf, aku akan merahasiakan tentang perkara itu. Cukup mereka membuat penilaian sendiri bahwa aku sudah bertunangan, kebenarannya itu antara aku dan keluarga.
 "Insya Allah, dia tiada berwujud tetapi sangat mendekatkan kakak dengan Allah. Itu yang paling utama." Jawabku tersenyum pada adik kesayanganku itu.
Berita pertunanganku itu juga membuat beberapa orang menjauhkan diri dariku. Kata mereka, aku menyembunyikan sesuatu yang seharusnya perlu diumumkan. Aku tersenyum lagi.
"Jangan lupa jemput aku di hari pernikahanmu nanti, jangan lupa ya!" ucap salah satu sahabat terbaikku 
Aku hanya tersenyum entah sekian kalinya. Apa yang mampu aku zahirkan ialah senyuman dan terus tersenyum. Mereka mengandai aku sedang berbahagia apabila sudah dikhitbahkan dengan dia yang mendekatkan aku dengan Allah. Sahabat- sahabatku juga merasa kehilangan aku apabila setiap waktu terluang aku habiskan masa dengan as-Syifa' ku al-Quran, tidak lain kerana aku mau kalamullah meresap dalam darahku, agar ketenangan akan menyelinap dalam setiap derap nafas ku menanti hari itu.
"kapan kamu menikah?" Tanya sahabatku untuk kesekian kalinya.
Aku tiada jawapan khusus. Dan hanya menawab,
"Insya Allah, tiba waktunya nanti kamu akan tau..."
Aku masih menyimpan hari keramat itu, bukan aku sengaja tetapi memang benar aku sendiri tidak tahu kapan hari itu.
"jangan lupa kasih tau aku ya! “sahabatku tersenyum megah.
"Kalau kamu tak datang pun aku tak akan bersedih dan tak berkecil hati, doakan aku ya!"
Itu saja pesanku. Aku juga tidak tahu di mana mau melangsungkan pernikahan ku, aduh semuanya menjadi tanda tanya sendiri. Diam dan terus berdiam membuatkan ramai insan berkecil hati.
"Insya Allah, kalian PASTI akan tahu bila sampai waktunya nanti..."
Rahasia ku adalah rahasia Allah, karena itu aku tidak mampu memberitahukan harinya. Aku hanya mampu menyiapkan diri sebaiknya. Untung aku dilamar dan dikhitbah dahulu tanpa menikah secara terkejut seperti orang lain. Segala daya upaya telah aku siapkan termasuk baju pernikahan, dan aku katakan sekali lagi kepada ibu...
"ibu, pakaiannya tidak usah berlebihan ya..."
Ibu angguk perlahan dan terus berlalu, hilang dari pandangan mata.
"ayo makan!" ajak ibu
Aku tersenyum lagi... Akhir-akhir ini aku begitu pemurah dengan senyuman.
"duluan bu, aku puasa." jawabku
adikku juga semakin galak mengusik.
"Wah, diet ya. Maklumlah hari bahagia sudah dekat... harinya tak tetap kah?"
"Bukan diet, mau mengosongkan perut. Maaf, harinya belum ditetapkan lagi." jawabku
sampai kini, aku tidak tahu kapan waktunya yang pasti. Maafkan aku sahabat, bersabarlah menanti hari tersebut. Aku juga menanti dengan penuh debaran, moga aku bersedia untuk hari pernikahan tersebut dan terus mengecap bahagia sepanjang alam berumahtangga kelak. Doakan aku, itu saja.
Beberapa hari kemudian, akhirnya aku selamat dinikahkan setelah sabar dalam penantian. sahabat ramai yang datang di majlis walimah walaupun aku tidak menjemput sendiri. Akhirnya, mereka ketahui sosok 'dia' yang mendekatkan aku kepada Allah.Akhirnya, mereka kenali sosok 'dia' yang aku rahasiakan dari pengetahuan umum.Akhirnya, mereka sama-sama mengambil 'ibrah dari sosok 'dia' yang mengkhitbah ku dalam sadar atau tidak sadar.
Hampir setiap malam sebelum menjelang hari pernikahan, sentiasa ada suara sayu yang menangis sendu di hening malam, dalam sujud, dalam rafa'nya pada Rabbi, dalam sembahnya pada Ilahi. Sayup-sayup hatinya merintih. Air matanya mengalir deras, hanya Tuhan yang tahu.
"Ya Allah, telah Engkau tunangkan aku tidak lain dengan 'dia' yang mendekatkan dengan Engkau. Yang menyedarkan aku untuk selalu berpuasa, yang menyedarkan aku tentang dunia sementara, yang menyedarkan aku tentang alam akhirat. Engkau satukan kami dalam majlis yang Engkau redhai, aku hamba Mu yang tak punya apa-apa selain Engkau sebagai sandaran harapan. Engkau maha mengetahui apa yang tidak aku ketahui..."
Beberapa minggu kemudian  setelah hari pernikahanku, akhirnya salah satu sahabat lamaku yang baru pulang dari luar kota bertanya kepada ibu.
"dewi bertunang dengan siapa buk?"
Ibu tenang menjawab...
"Dengan kematian wahai anakku.penyakit ginjal yang tak pernah ia keluhkan kepada keluarga akhirnya menjadi penyakit ginjal kronis. Kata dokter, dia hanya punya beberapa minggu saja sebelum penyakitnya membunuh."
"Allahuakbar..."
Terduduk sahabatku mendengar, air matanya tak mampu ditahan.
"Buku yang sering dibacanya itu, malam pertama..."
Ibu angguk, tersenyum lembut...
"Ini nak, bukunya."
Senaskah buku bertukar tangan, karangan Dr 'Aidh Abdullah al-Qarni yang berjudul “Malam Pertama di Alam Kubur”.
"Ya Allah, patutlah dia selalu menangis.. “
"Dan sejak dari hari 'khitbah' tersebut, dia selalu berpuasa. Katanya mau mengosongkan perut, agar mudah untuk dimandikan..." jelas ibuku.
sahabatku masih kaku. Tiada suara yang terlontar. Begitupun dengan ibu. Sedangkan aku tersenyum bahagia bersama kekasih yang telah menikahiku. Hari yang kunanti telah berlangsung dan aku menikmatinya karena aku telah persiapkan sebelumnya. Dan akupun bahagia disurga selamanya………insyaAllah…….

  
************************************

"Satu cincin ini aku pakai sebagai tanda aku di risik oleh MAUT. Dan satu cincin ini aku pakai sebagai tanda aku sudah bertunang dengan MAUT. Dan aku akan sabar menanti harinya dengan mendekatkan diri ku kepada ALLAH. Aku tahu ibu akan tenang menghadapinya, baginya anak adalah pinjaman dari ALLAH yang perlu dipulangkan apabila ALLAH meminta."
Cukuplah kematian itu mengingatkan kita... Cukuplah kita sadar kita akan berpisah dengan segala nikmat dunia. Cukuplah kita sadar bahwa ada hari yang lebih kekal, oleh itu sentiasalah berwaspada. Bimbang menikah tergesa-gesa, tahu-tahu sudah disanding dan diarak seluruh kampung walau hanya dengan sehelai kain putih tak berharga. Ini adalah peringatan buat kita semua. hari ini kita lalai dan lupa dalam mengejar cinta dan cita-cita yang kebanyakkannya berimpikan dunia. namun kita lupa untuk menabung dalam saham akhirat. negeri yang abadi tempat kita akan kembali. selamanya………

By: Fenik Rosita Dewi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung Yang Baik Selalu Meninggalkan Komentar Yang Bijak dan Tidak Menyinggung
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda