Aku
hanya seorang gadis biasa. Tiada kelebihan yang teristimewa, aku juga tidak
punya apa-apa yang begitu menonjol. Jalan ku juga dua kaki, caraku melihat juga
menggunakan mata, sama seperti manusia lain yang menumpang di bumi Allah ini.
Aku tidak buta, tidak juga tuli maupun bisu. Aku bisa melihat dengan sepasang
mata pinjaman Allah, aku bisa mendengar dengan sepasang telinga pinjaman Allah
juga aku bisa berbicara dengan lidahku yang lembut tidak bertulang. Sama
seperti manusia lain. Aku bukan seperti bundanya Syeikh Qadir al-Jailani, aku
juga tidak sehebat srikandi Sayyidah Khadijah dalam berbakti, aku bukan sebaik
Sayyidah Fatimah yang setia menjadi pengiring ayahanda dalam setiap langkah
perjuangan memartabatkan Islam. Aku hanya seorang hamba yang sedang mengembara
di bumi Allah, jalanku kelak juga sama yaitu Negeri Barzakh, insya Allah.
Destinasi aku juga sama seperti kalian, Negeri Abadi. Tiada keraguan dalam
perkara ini.
Sejak
dari hari istimewa itu, banyak sahabat yang memuji wajahku berseri dan mereka
yakin benar aku sudah dikhitbah apabila melihat ku memakai cincin di kedua
tangan di jari manis. Aku hanya tersenyum, tidak mengiyakan dan tidak pula
menidakkan. Diam ku bukan membuka pintu-pintu pertanyaan dan rasa penasaran sahabat-
sahabatku, tetapi diam ku karena aku belum mampu memperkenalkan insan itu, insane
yang telah mengkhitbahku. Sehingga kini, aku tetap setia dalam penantian. Ibupun
bertanyakan tentang suatu hal yang sewajarnya aku jawab dengan penuh
tatasusila.
"nanti
kalau nikah mau pakai baju warna apa ndok?"
Aku
menjawab tenang..
"Warna
putih, bersih buk..."
"Alhamdulillah,
ibu akan usahakan dalam waktu terdekat." Jawab ibu
"Ibu,
4 meter sudah cukup untuk sepasang jubah. Jangan berlebihan." pintaku
Ibu
angguk perlahan.
Beberapa
hari ini, aku terus membaca dan mempelajari satu per satu, helaian demi helaian
lembaran buku yang begitu menyentuh sanubariku sebagai hamba Allah. Malam
Pertama...ya itulah judul buku yang sering kubuka. Sukar sekali aku ungkapkan
perasaan yang bersarang, ingin rasanya aku menangis sejadinya tetapi sudah aku
ikrarkan, biarlah Allah juga yang menetapkan hari yang tepat karana aku akan
sabar menanti hari bahagia tersebut. Mudah-mudahan aku terus melangkah tanpa
menoleh ke belakang lagi. Mudah-mudahan ya Allah.
Sejak hari pertunangan itu, aku
semakin banyak mengulang al-Quran. Aku ingin, sebelum tibanya hari yang aku
nantikan itu, aku sudah khatam al-Quran, setidak-tidaknya nanti hatiku akan
tenang dengan kalamullah yang sudah meresap ke dalam darah yang mengalir dalam
tubuh. Mudah-mudahan aku tenang. As-Syifa' aku adalah al-Quran, yang setia
menemani dalam resah aku menanti. Benar, aku sedang membujuk gelora hati. Mau
pecah jantung menanti detik pernikahan tersebut, begini rasanya orang-orang
yang mendahului.
"Kak,
siapa tunangan kakak? Mesti hebat orangnya. Iya kan kak, sarjana kesehatan juga?"Tanya
adikku penasaran
Aku
tersenyum, mengulum sendiri setiap rasa yang singgah. Maaf, aku akan merahasiakan
tentang perkara itu. Cukup mereka membuat penilaian sendiri bahwa aku sudah
bertunangan, kebenarannya itu antara aku dan keluarga.
"Insya
Allah, dia tiada berwujud tetapi sangat mendekatkan kakak dengan Allah. Itu
yang paling utama." Jawabku tersenyum pada adik kesayanganku itu.
Berita
pertunanganku itu juga membuat beberapa orang menjauhkan diri dariku. Kata
mereka, aku menyembunyikan sesuatu yang seharusnya perlu diumumkan. Aku
tersenyum lagi.
"Jangan
lupa jemput aku di hari pernikahanmu nanti, jangan lupa ya!" ucap salah
satu sahabat terbaikku
Aku
hanya tersenyum entah sekian kalinya. Apa yang mampu aku zahirkan ialah
senyuman dan terus tersenyum. Mereka mengandai aku sedang berbahagia apabila
sudah dikhitbahkan dengan dia yang mendekatkan aku dengan Allah. Sahabat-
sahabatku juga merasa kehilangan aku apabila setiap waktu terluang aku habiskan
masa dengan as-Syifa' ku al-Quran, tidak lain kerana aku mau kalamullah meresap
dalam darahku, agar ketenangan akan menyelinap dalam setiap derap nafas ku
menanti hari itu.
"kapan
kamu menikah?" Tanya sahabatku untuk kesekian kalinya.
Aku
tiada jawapan khusus. Dan hanya menawab,
"Insya
Allah, tiba waktunya nanti kamu akan tau..."
Aku
masih menyimpan hari keramat itu, bukan aku sengaja tetapi memang benar aku
sendiri tidak tahu kapan hari itu.
"jangan
lupa kasih tau aku ya! “sahabatku tersenyum megah.
"Kalau
kamu tak datang pun aku tak akan bersedih dan tak berkecil hati, doakan aku ya!"
Itu
saja pesanku. Aku juga tidak tahu di mana mau melangsungkan pernikahan ku, aduh
semuanya menjadi tanda tanya sendiri. Diam dan terus berdiam membuatkan ramai
insan berkecil hati.
"Insya
Allah, kalian PASTI akan tahu bila sampai waktunya nanti..."
Rahasia
ku adalah rahasia Allah, karena itu aku tidak mampu memberitahukan harinya. Aku
hanya mampu menyiapkan diri sebaiknya. Untung aku dilamar dan dikhitbah dahulu
tanpa menikah secara terkejut seperti orang lain. Segala daya upaya telah aku siapkan
termasuk baju pernikahan, dan aku katakan sekali lagi kepada ibu...
"ibu,
pakaiannya tidak usah berlebihan ya..."
Ibu
angguk perlahan dan terus berlalu, hilang dari pandangan mata.
"ayo
makan!" ajak ibu
Aku
tersenyum lagi... Akhir-akhir ini aku begitu pemurah dengan senyuman.
"duluan
bu, aku puasa." jawabku
adikku
juga semakin galak mengusik.
"Wah,
diet ya. Maklumlah hari bahagia sudah dekat... harinya tak tetap kah?"
"Bukan
diet, mau mengosongkan perut. Maaf, harinya belum ditetapkan lagi."
jawabku
sampai
kini, aku tidak tahu kapan waktunya yang pasti. Maafkan aku sahabat,
bersabarlah menanti hari tersebut. Aku juga menanti dengan penuh debaran, moga
aku bersedia untuk hari pernikahan tersebut dan terus mengecap bahagia
sepanjang alam berumahtangga kelak. Doakan aku, itu saja.
Beberapa
hari kemudian, akhirnya aku selamat dinikahkan setelah sabar dalam penantian. sahabat
ramai yang datang di majlis walimah walaupun aku tidak menjemput sendiri. Akhirnya,
mereka ketahui sosok 'dia' yang mendekatkan aku kepada Allah.Akhirnya, mereka
kenali sosok 'dia' yang aku rahasiakan dari pengetahuan umum.Akhirnya, mereka
sama-sama mengambil 'ibrah dari sosok 'dia' yang mengkhitbah ku dalam sadar atau
tidak sadar.
Hampir
setiap malam sebelum menjelang hari pernikahan, sentiasa ada suara sayu yang
menangis sendu di hening malam, dalam sujud, dalam rafa'nya pada Rabbi, dalam
sembahnya pada Ilahi. Sayup-sayup hatinya merintih. Air matanya mengalir deras,
hanya Tuhan yang tahu.
"Ya
Allah, telah Engkau tunangkan aku tidak lain dengan 'dia' yang mendekatkan
dengan Engkau. Yang menyedarkan aku untuk selalu berpuasa, yang menyedarkan aku
tentang dunia sementara, yang menyedarkan aku tentang alam akhirat. Engkau
satukan kami dalam majlis yang Engkau redhai, aku hamba Mu yang tak punya
apa-apa selain Engkau sebagai sandaran harapan. Engkau maha mengetahui apa yang
tidak aku ketahui..."
Beberapa
minggu kemudian setelah hari
pernikahanku, akhirnya salah satu sahabat lamaku yang baru pulang dari luar
kota bertanya kepada ibu.
"dewi
bertunang dengan siapa buk?"
Ibu
tenang menjawab...
"Dengan
kematian wahai anakku.penyakit ginjal yang tak pernah ia keluhkan kepada
keluarga akhirnya menjadi penyakit ginjal kronis. Kata dokter, dia hanya punya
beberapa minggu saja sebelum penyakitnya membunuh."
"Allahuakbar..."
Terduduk
sahabatku mendengar, air matanya tak mampu ditahan.
"Buku
yang sering dibacanya itu, malam pertama..."
Ibu
angguk, tersenyum lembut...
"Ini
nak, bukunya."
Senaskah
buku bertukar tangan, karangan Dr 'Aidh Abdullah al-Qarni yang berjudul “Malam
Pertama di Alam Kubur”.
"Ya
Allah, patutlah dia selalu menangis.. “
"Dan
sejak dari hari 'khitbah' tersebut, dia selalu berpuasa. Katanya mau
mengosongkan perut, agar mudah untuk dimandikan..." jelas ibuku.
sahabatku
masih kaku. Tiada suara yang terlontar. Begitupun dengan ibu. Sedangkan aku
tersenyum bahagia bersama kekasih yang telah menikahiku. Hari yang kunanti telah
berlangsung dan aku menikmatinya karena aku telah persiapkan sebelumnya. Dan akupun
bahagia disurga selamanya………insyaAllah…….
************************************
"Satu cincin ini aku pakai sebagai
tanda aku di risik oleh MAUT. Dan satu cincin ini aku pakai sebagai tanda aku
sudah bertunang dengan MAUT. Dan aku akan sabar menanti harinya dengan
mendekatkan diri ku kepada ALLAH. Aku tahu ibu akan tenang menghadapinya,
baginya anak adalah pinjaman dari ALLAH yang perlu dipulangkan apabila ALLAH
meminta."
Cukuplah
kematian itu mengingatkan kita... Cukuplah kita sadar kita akan berpisah dengan
segala nikmat dunia. Cukuplah kita sadar bahwa ada hari yang lebih kekal, oleh
itu sentiasalah berwaspada. Bimbang menikah tergesa-gesa, tahu-tahu sudah
disanding dan diarak seluruh kampung walau hanya dengan sehelai kain putih tak
berharga. Ini adalah peringatan buat kita semua. hari ini kita lalai dan lupa
dalam mengejar cinta dan cita-cita yang kebanyakkannya berimpikan dunia. namun
kita lupa untuk menabung dalam saham akhirat. negeri yang abadi tempat kita
akan kembali. selamanya………
By:
Fenik Rosita Dewi