Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan
berbagai macam nikmatnya kepada kita. Shalawat dan salam kita mohonkan kepada
Allah agar ditujukan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Cadar…….mungkin ada sebagian orang
yang awam dengan mahkota berharga ini, namun sebagian juga mempunyai persepsi
yang salah kaprah dengan mahkota yang
satu ini. Cadar seringkali diartikan sebagai pakaian kebudayaan arab yang biasa digunakan untuk menutupi wajah dari
tiupan gurun pasir didaerah mereka tinggal. Ada pula yang berkata “cadar itu
pakaian yang biasa dipakai orang arab untuk menutubi tubuh mereka dari panas
yang menyengat, dan hal itu tidak perlu diterapkan di Indonesia yang notabene
adalah daerah tropis tidak seperti timur tengah”. Sungguh, pernyataan lucu ini
sangat menggelitik hati saya untuk segera memposting artikel tentang apa itu
cadar!!!! Dan siapa sajakah yang berhak dan berkewajiban untuk memakainya. Oke…..ceck
it out>>>>>>
A.
Pengertian
Cadar adalah kain penutup kepala atau
wajah untuk perempuan. Dalam bahasa arab disebut dengan niqab yakni kain
penutup wajah yang dari bawah lekuk mata
kebawah. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan cadar artinya penutup muka.
Kata lain cadar adalah burqa dan purdah.
Cadar BUKAN Budaya Arab, Tapi Cadar Adalah Budaya Islam
Dari pemaparan di atas, jelaslah
bahwa memakai cadar (dan juga jilbab) bukanlah sekedar budaya timur-tengah,
namun budaya Islam dan ajaran Islam yang sudah diajarkan oleh para ulama Islam
sebagai pewaris para Nabi yang memberikan pengajaran kepada seluruh umat Islam,
bukan kepada masyarakat timur-tengah saja. Jika memang budaya Islam ini sudah dianggap
sebagai budaya lokal oleh masyarakat timur-tengah, maka tentu ini adalah
perkara yang baik. Karena memang demikian sepatutnya, seorang muslim berbudaya
Islam.
Diantara bukti lain bahwa cadar (dan juga jilbab) adalah budaya Islam :
Sebelum turun ayat yang memerintahkan
berhijab atau berjilbab, budaya masyarakat arab Jahiliyah adalah menampakkan
aurat, bersolek jika keluar rumah, berpakaian seronok atau disebut dengan tabarruj.
Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:
“Hendaknya kalian (wanita muslimah), berada di
rumah-rumah kalian dan janganlah kalian ber-tabarruj sebagaimana yang dilakukan
wanita jahiliyah terdahulu” (QS. Al Ahzab: 33)
Sedangkan, yang disebut dengan jahiliyah adalah masa ketika Rasulullah Shallalahu’alihi
Wasallam belum di utus. Ketika Islam datang, Islam mengubah budaya buruk
ini dengan memerintahkan para wanita untuk berhijab. Ini membuktikan bahwa
hijab atau jilbab adalah budaya yang berasal dari Islam. Ketika turun ayat
hijab, para wanita muslimah yang beriman kepada Rasulullah Shallalahu’alaihi
Wasallam seketika itu mereka mencari kain apa saja yang bisa menutupi
aurat mereka. ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata:
“(Wanita-wanita Muhajirin), ketika turun ayat
ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.”
(QS. An Nuur: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung
dengannya.” (HR. Bukhari 4759). Hal Menunjukkan bahwa sebelumnya mereka tidak
berpakaian yang menutupi aurat-aurat mereka sehingga mereka menggunakan kain
yang ada dalam rangka untuk mentaati ayat tersebut.
Singkat kata, para ulama sejak dahulu
telah membahas hukum memakai cadar bagi wanita. Sebagian mewajibkan, dan
sebagian lagi berpendapat hukumnya sunnah. Tidak ada diantara mereka yang
mengatakan bahwa pembahasan ini hanya berlaku bagi wanita muslimah arab atau
timur-tengah saja. Sehingga tidak benar bahwa memakai cadar itu
aneh, ekstrim, berlebihan dalam beragama, atau ikut-ikutan budaya negeri arab.
B.
Hukum Bercadar
Masalah kewajiban memakai cadar
sebenarnya tidak disepakati oleh para ulama. Maka wajarlah bila kita sering
mendapati adanya sebagian ulama yang mewajibkannya dengan didukung dengan
sederet dalil dan hujjah. Namun kita juga tidak asing dengan pendapat yang
mengatakan bahwa cadar itu bukanlah kewajiban. Pendapat yang kedua ini pun
biasanya diikuti dengan sederet dalil dan hujjah juga. Dalam kajian ini,
marilah kita telusuri masing-masing pendapat itu dan berkenalan dengan dali dan
hujjah yang mereka ajukan.
Sehingga kita bisa memiliki wawasan dalam memasuki wilayah ini secara bashirah
dan wa`yu yang sepenuhnya. Tujuannya bukan mencari titik perbedaan dan
berselisih pendapat, melainkan untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang
dasar isitmbath kedua pendapat ini agar kita bisa berbaik sangka dan tetap
menjaga hubunngan baik dengan kedua belah pihak.
1. Kalangan Yang Mewajibkan Cadar
Mereka yang mewajibkan setiap wanita
untuk menutup muka (memakai niqab) berangkat dari pendapat bahwa wajah itu
bagian dari aurat wanita yang wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis
non mahram.
Dalil-dalil yang mereka kemukakan
antara lain :
a. Surat Al-Ahzab : 59
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mu`min: `Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka`. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.` (QS. Al-Ahzab : 59)
Ayat ini adalah ayat yang paling utama dan paling sering
dikemukakan oleh pendukung wajibnya niqab. Mereka mengutip pendapat para
mufassirin terhadap ayat ini bahwa Allah mewajibkan para wanita untuk
menjulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka termasuk kepala, muka dan
semuanya, kecuali satu mata untuk melihat. Riwayat ini dikutip dari pendapat
Ibnu Abbas, Ibnu Mas`ud, Ubaidah As-Salmani dan lainnya, meskipun tidak ada
kesepakatan diantara mereka tentang makna `jilbab` dan makna `menjulurkan`.
Namun bila diteliti lebih jauh, ada ketidak-konsistenan
nukilan pendapat dari Ibnu Abbas tentang wajibnya niqab. Karena dalam tafsir di
surat An-Nuur yang berbunyi (kecuali yang zahir darinya), Ibnu Abbas justru
berpendapat sebaliknya.
Para ulama yang tidak mewajibkan niqab mengatakan bahwa ayat ini sama sekali
tidak bicara tentang wajibnya menutup muka bagi wanita, baik secara bahasa
maupun secara `urf (kebiasaan). Karena yang diperintahkan jsutru menjulurkan
kain ke dadanya, bukan ke mukanya. Dan tidak ditemukan ayat lainnya yang
memerintahkan untuk menutup wajah.
b. Surat An-Nuur : 31
Katakanlah kepada wanita yang beriman: `Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya.` (QS. An-Nur : 31).
Menurut mereka dengan mengutip riwayat pendapat dari Ibnu Mas`ud bahwa yang
dimaksud perhiasan yang tidak boleh ditampakkan adalah wajah, karena wajah
adalah pusat dari kecantikan. Sedangkan yang dimaksud dengan `yang biasa nampak`
bukanlah wajah, melainkan selendang dan baju.
Namun riwayat ini berbeda dengan riwayat yang shahi dari para
shahabat termasuk riwayt Ibnu Mas`ud sendiri, Aisyah, Ibnu Umar, Anas dan
lainnya dari kalangan tabi`in bahwa yang dimaksud dengan `yang biasa nampak
darinya` bukanlah wajah, tetapi al-kuhl (celak mata) dan cincin. Riwayat ini
menurut Ibnu Hazm adalah riwayat yang paling shahih.
c. Surat Al-Ahzab : 53
Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka , maka mintalah
dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati
mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini
isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu
adalah amat besar di sisi Allah.`(QS. Al-Ahzab : 53)
Para pendukung kewajiban niqab juga menggunakan ayat ini
untuk menguatkan pendapat bahwa wanita wajib menutup wajah mereka dan bahwa
wajah termasuk bagian dari aurat wanita. Mereka mengatakan bahwa meski khitab
ayat ini kepada istri Nabi, namun kewajibannya juga terkena kepada semua wanita
mukminah, karena para istri Nabi itu adalah teladan dan contoh yang harus
diikuti.
Selain itu bahwa mengenakan niqab itu alasannya adalah untuk menjaga kesucian
hati, baik bagi laki-laki yang melihat ataupun buat para istri nabi. Sesuai
dengan firman Allah dalam ayat ini bahwa cara yang demikian itu lebih suci bagi
hatimu dan hati mereka (istri nabi).
Namun bila disimak lebih mendalam, ayat ini tidak berbicara
masalah kesucian hati yang terkait dengan zina mata antara para shahabat Rasulullah
SAW dengan para istri beliau. Kesucian hati ini kaitannya dengan perasaan dan
pikiran mereka yang ingin menikahi para istri nabi nanti setelah beliau wafat.
Dalam ayat itu sendiri dijelaskan agar mereka jangan menyakiti hati nabi dengan
mengawini para janda istri Rasulullah SAW sepeninggalnya. Ini sejalan dengan
asbabun nuzul ayat ini yang menceritakan bahwa ada shahabat yang ingin menikahi
Aisyah ra bila kelak Nabi wafat. Ini tentu sangat menyakitkan perasaan nabi.
Adapun makna kesucian hati itu bila dikaitkan dengan zina
mata antara shahabat nabi dengan istri beliau adalah penafsiran yang terlalu
jauh dan tidak sesuai dengan konteks dan kesucian para shahabat nabi yang
agung.
Sedangkan perintah untuk meminta dari balik tabir,
jelas-jelas merupakan kekhusususan dalam bermuamalah dengan para istri Nabi.
Tidak ada kaitannya dengan `al-Ibratu bi `umumil lafzi laa bi khushushil ayah`.
Karena ayat ini memang khusus membicarakan akhlaq pergaulan dengan istri nabi.
Dan mengqiyaskan antara para istri nabi dengan seluruh wanita muslimah adalah
qiyas yang tidak tepat, qiyas ma`al fariq. Karena para istri nabi memang
memiliki standart akhlaq yang khusus. Ini ditegaskan dalam ayat Al-Quran.
`Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti
wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan
ucapkanlah perkataan yang baik,` (QS. Al-ahzab : 32)
d. Hadits Larang Berniqab bagi Wanita
Muhrim (berihram)
Para pendukung kewajiban menutup wajah bagi muslimah
menggunakan sebuah hadits yang diambil mafhum mukhalafanya, yaitu larangan
Rasulullah SAW bagi muslimah untuk menutup wajah ketika ihram.
`Janganlah wanita yang sedang berihram menutup wajahnya
(berniqab) dan memakai sarung tangan`.
Dengan adanya larangan ini, menurut mereka lazimnya para
wanita itu memakai niqab dan menutup wajahnya, kecuali saat berihram. Sehingga
perlu bagi Rasulullah SAW untuk secara khusus melarang mereka. Seandainya
setiap harinya mereka tidak memakai niqab, maka tidak mungkin beliau
melarangnya saat berihram.
Pendapat ini dijawab oleh mereka yang tidak mewajibkan niqab dengan logika
sebaliknya. Yaitu bahwa saat ihram, seseorang memang dilarang untuk melakukan
sesautu yang tadinya halal. Seperti memakai pakaian yang berjahit, memakai
parfum dan berburu. Lalu saat berihram, semua yang halal tadi menjadi haram.
Kalau logika ini diterapkan dalam niqab, seharusnya memakai niqab itu hukumnya
hanya sampai boleh dan bukan wajib. Karena semua larangan dalam ihram itu hukum
asalnya pun boleh dan bukan wajib. Bagaimana bisa sampai pada kesimpulan bahwa
sebelumnya hukumnya wajib ?
Bahwa ada sebagian wanita yang di masa itu menggunakan
penutup wajah, memang diakui. Tapi masalahnya menutup wajah itu bukanlah
kewajiban. Dan ini adalah logika yang lebih tepat.
e. Hadits bahwa Wanita itu Aurat
Diriwayatkan oleh At-Tirmizy marfu`an bahwa,
"Wanita itu adalah aurat, bila dia keluar rumah, maka
syetan menaikinya`.
Menurut At-turmuzi hadis ini kedudukannya hasan shahih. Oleh
para pendukung pendapat ini maka seluruh tubuh wanita itu adalah aurat,
termasuk wajah, tangan, kaki dan semua bagian tubuhnya. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah dan Al-Hanabilah.
f.
ndhaifkan
Hadits Asma`
Mereka juga mengkritik hadits Asma` binti Abu Bakar yang
berisi bahwa :
Wahai Asma`, seorang wanita yang sudah hadih itu tidak boleh nampak bagian
tubuhnya kecuali ini dan ini` Sambil beliau memegang wajar dan tapak tangannya.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
2. Kalangan Yang Tidak Mewajibkan Cadar (Menyunnahkan)
Sedangkan mereka yang tidak mewajibkan cadar berpendapat
bahwa wajah bukan termasuk aurat wanita. Mereka juga menggunakan banyak dalil
serta mengutip pendapat dari para imam mazhab yang empat dan juga pendapat
salaf dari para shahabat Rasulullah SAW.
a. Ijma` Shahabat
Para shahabat Rasulullah SAW sepakat mengatakan bahwa wajah
dan tapak tangan wanita bukan termasuk aurat. Ini adalah riwayat yang paling
kuat tentang masalah batas aurat wanita.
b. Pendapat Para Fuqoha Bahwa Wajah Bukan
Termasuk Aurat Wanita.
Al-Hanafiyah mengatakan tidak dibenarkan melihat wanita
ajnabi yang merdeka kecuali wajah dan tapak tangan. (lihat Kitab Al-Ikhtiyar).
Bahkan Imam Abu Hanifah ra. sendiri mengatakan yang termasuk bukan aurat adalah
wajah, tapak tangan dan kaki, karena kami adalah sebuah kedaruratan yang tidak
bisa dihindarkan.
Al-Malikiyah dalam kitab `Asy-Syarhu As-Shaghir` atau sering disebut kitab
Aqrabul Masalik ilaa Mazhabi Maalik, susunan Ad-Dardiri dituliskan bahwa batas
aurat waita merdeka dengan laki-laki ajnabi (yang bukan mahram) adalah seluruh
badan kecuali muka dan tapak tangan. Keduanya itu bukan termasuk aurat.
Asy-Syafi`iyyah dalam pendapat As-Syairazi dalam kitabnya `al-Muhazzab`, kitab
di kalangan mazhab ini mengatakan bahwa wanita merdeka itu seluruh badannya
adalah aurat kecuali wajah dan tapak tangan.
Dalam mazhab Al-Hanabilah kita dapati Ibnu Qudamah berkata kitab Al-Mughni 1 :
1-6,`Mazhab tidak berbeda pendapat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan
tapak tangannya di dalam shalat
Daud yang mewakili kalangan zahiri pun sepakat bahwa batas
aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuai muka dan tapak tangan. Sebagaimana
yang disebutkan dalam Nailur Authar. Begitu juga dengan Ibnu Hazm mengecualikan
wajah dan tapak tangan sebagaiman tertulis dalam kitab Al-Muhalla.
c. Pendapat Para Mufassirin
Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan
bahwa batas aurat wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak
tangan. Mereka antara lain At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-Baidhawi dan
lainnya. Pendapat ini sekaligus juga mewakili pendapat jumhur ulama.
d. Dhai`ifnya Hadits Asma Dikuatkan Oleh
Hadits Lainnya
Adapun hadits Asma` binti Abu Bakar yang dianggap dhaif, ternyata tidak berdiri
sendiri, karena ada qarinah yang menguatkan melalui riwayat Asma` binti Umais
yang menguatkan hadits tersebut. Sehingga ulama modern sekelas Nasiruddin
Al-Bani sekalipun meng-hasankan hadits tersebut sebagaimana tulisan beliau
`hijab wanita muslimah`, `Al-Irwa`, shahih Jamius Shaghir dan `Takhrij Halal
dan Haram`.
e. Perintah Kepada Laki-laki Untuk
Menundukkan Pandangan.
Allah SWt telah memerintahkan kepada laki-laki untuk menundukkan pandangan
(ghadhdhul bashar). Hal itu karena para wanita muslimah memang tidak diwajibkan
untuk menutup wajah mereka.
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: `Hendaklah
mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat (QS. An-Nuur : 30)
Dalam hadits Rasulullah SAW kepada Ali ra. disebutkan bahwa,
Dari Buraidah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Ali bin Abi
Thalib,"Jangan lah kamu mengikuti pandangan pertama (kepada wanita) dengan
pandangan berikutnya. Karena yang pertama itu untukmu dan yang kedua adalah
ancaman / dosa`. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizy dan Hakim).
Bila para wanita sudah menutup wajah, buat apalagi perintah menundukkan
pandangan kepada laki-laki. Perintah itu menjadi tidak relevan lagi.
Jadi intinya disini adalah, hukum memakai cadar bukanlah haram dan tidak
ada ulam yang melarangnya, akan tetapi hukum memakai cadar adalah wajib dan
sunnah. Oleh sebab itu anda mempunyai hak untuk memilih, hukum manakah yang
anda yakini, wajib ataukah sunnah. Jika anda ingin terhindar dari fitnah dunia
dan selamat di akhirat, maka, pakailah cadar, karena ialah penolong diakhirat
kelak namun juga harus diiringi sengan akhlakul kariimah, insyaAllah…..wallahu
ta’Alla a’lam. Mari kembali pada Al-Qur’an
dan Sunnah.
*Sumber : Muslim.Or.Id
dan Muslimah.Or.id