37 Kebiasaan Orang Tua Yang Menghasilkan Perilaku Buruk Pada Anak
1. Raja yang Tak Pernah Salah
Sewaktu
anak kita masih kecil dan belajar jalan tidak jarang tanpa sengaja mereka
menabrak kursi atau meja. Lalu mereka menangis. Umumnya, yang dilakukan oleh
orang tua supaya tangisan anak berhenti adalah dengan memukul kursi atau meja
yang tanpa sengaja mereka tabrak. Sambil mengatakan, “Siapa yang nakal ya? Ini
sudah Papa/Mama pukul kursi/mejanya…sudah cup….cup…diem ya..Akhirnya si anak
pun terdiam.
Ketika
proses pemukulan terhadap benda benda yang mereka tabrak terjadi, sebenarnya
kita telah mengajarkan kepada anak kita bahwa ia tidak pernah bersalah.
Yang salah
orang atau benda lain. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga ia dewasa.
Akibatnya, setiap ia mengalami suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan,
maka yang keliru atau salah adalah orang lain, dan dirinya selalu benar. Akibat
lebih lanjut, yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah
orang lain yang tidak melakukan suatu kekeliruan atau kesalahan.
Kita sebagai orang tua baru menyadari hal tersebut ketika si anak sudah mulai
melawan pada kita. Perilaku melawan ini terbangun sejak kecil karena tanpa
sadar kita telah mengajarkan untuk tidak pernah merasa bersalah.
Lalu, apa
yang sebaiknya kita lakukan ketika si anak yang baru berjalan menabrak sesuatu
sehingga membuatnya menangis? Yang sebaiknya kita lakukan adalah ajarilah ia
untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi; katakanlah padanya (sambil
mengusap bagian yang menurutnya terasa sakit): ” Sayang, kamu terbentur ya.
Sakit ya? Lain kali hati-hati ya, jalannya pelan-pelan saja dulu supaya tidak
membentur lagi.”
2. Berbohong Kecil
Awalnya
anak-anak kita adalah anak yang selalu mendengarkan kata-kata orang tuanya,
Mengapa? KArena mereka percaya sepenuhnya pada orang tuanya. Namun, ketika anak
beranjak besar, ia sudah tidak menuruti perkataan atau permintaan kita? Apa
yang terjadi? Apakah anak kita sudah tidak percaya lagi dengan perkataan atau
ucapan-ucapan kita lagi?
Tanpa sadar
kita sebagai orang tua setiap hari sering membohongi anak untuk menghindari
keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di
pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak berkeliling perumahan. Apa yang
kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita
lebih memilih berbohong dengan mengalihkan perhatian si kecil ke tempat lain,
setelah itu kita buru-buru pergi? Atau yang ekstrem kita mengatakan, “Papa/Mama
hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya, sebentaaar saja ya, Sayang.” Tapi
ternyata, kita pulang malam. Contah lain yang sering kita lakukan ketika kita
sedang menyuapi makan anak kita, “Kalo maemnya susah, nanti Papa?Mama tidak
ajak jalan-jalan loh.” Padahal secara logika antara jalan-jalan dan cara/pola
makan anak, tidak ada hubungannya sama sekali.
Dari
beberapa contah di atas, jika kita berbohong ringan atau sering kita istilahkan
“bohong kecil”, dampaknya ternyata besar. Anak tidak percaya lagi dengan kita
sebagai orang tua. Anak tidak dapat membedakan pernyataan kita yang bisa
dipercaya atau tidak. akibat lebih lanjut, anak menganggap semua yang diucapkan
oleh orang tuanya itu selalu bohong, anak mulai tidak menuruti segala perkataan
kita.
Apa yang
sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah
dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan penuh kasih dan pengertian:
“Sayang,
Papa/Mama mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo Papa/Mama ke
kebun binatang, kamu bisa ikut.”
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini.
Pastinya membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena
biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan
mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita harus bersabar dan
lakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan
memahami keadaan mengapa orang tuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi
bekerja, anak tidak bisa ikut. Sebaliknya bila pergi ke tempat selain kantor,
anak pasti diajak orang tuanya. Pastikan kita selalu jujur dalam mengatakan
sesuatu. Anak akan mampu memahami dan menuruti apa yang kita katakan.
3. Banyak Mengancam
“Adik,
jangan naik ke atas meja! nanti jatuh dan nggak ada yang mau menolong!”
“Jangan ganggu adik, nanti Mama/Papa marah!”
Dari sisi
anak pernyataan yang sifatnya melarang atau perintah dan dilakukan dengan cara
berteriak tanpa kita beranjak dari tempat duduk atau tanpa kita menghentikan
suatu aktivitas, pernyataan itu sudah termasuk ancaman. Terlebih ada kalimat
tambahan “….nanti Mama/Papa marah!”
Seorang
anak adalah makhluk yang sangat pandai dalam mempelajari pola orang tuanya; dia
tidak hanya bisa mengetahui pola orang tuanya mendidik, tapi dapat membelokkan
pola atau malah mengendalikan pola orang tuanya. Hal ini terjadi bila kita
sering menggunakan ancaman dengan kata-kata,namun setelah itu tidak ada tindak
lanjut atau mungkin kita sudah lupa dengan ancaman-ancaman yang pernah kita
ucapkan
Apa yang
sebaiknya kita lakukan?
Kita tidak
perlu berteriak-teriak seperti itu. Dekati si anak, hadapkan seluruh tubuh dan
perhatian kita padanya. tatap matanya dengan lembut, namum perlihatkan ekspresi
kita tidak senang dengan tindakan yang mereka lakukan. Sikap itu juga
dipertegas dengan kata-kata, “Sayang, Papa/Mama mohon supaya kamu boleh
meminjamkan mainan ini pada adikmu. Papa/Mama akan makin sayang sama kamu.”
Tidak perlu dengan ancaman atau teriaka-teriakan. Atau kita bisa juga
menyatakan suatu pernyataan yang menjelaskan suatu konsekuensi, misal “Sayang,
bila kamu tidak meminjamkan mainan in ke adikmu,Papa/Mama akan menyimpan mainan
ini dan kalian berdua tidak bisa bermain. MAinan akan Papa/Mama keluarkan, bila
kamu mau pinjamkan mainan itu ke adikmu. Tepati pernyataan kita dengan
tindakan.
4. Bicara Tidak Tepat Sasaran
Pernahkah
kita menghardik anak dengan kalimat seperti, “Papa/Mama tidak suka bila kamu
begini/begitu!” atau “Papa/Mama tidak mau kamu berbuat seperti itu lagi!” Namun
kita lupa menjelaskan secara rinci dan dengan baik, hal2 atau tindakan apa saja
yang kita inginkan. Anak tidak pernah tahu apa yang diinginkan atai dibutuhkan
oleh orang tuanya dalam hal berperilaku. Akibatnya anak terus mencoba sesuatu
yang baru.
Dari sekian banyak percobaan yang dilakukannya, ternyata selalu dikatakan salah
oleh orang tuanya. Hal ini mengakibatkan mereka berbalik untuk dengan sengaja
melakukan hal2 yang tidak disukai orang tuanya. Tujuannya untuk mrmbuat orang
tuanya kesal sebagia bentuk kekesalan yang juga ia alami (tindakannya selalu salah
di hadapan orang tua).
Apa yang
sebaiknya kita lakukan?
Sampaikanlah
hal2 atau tindakan2 yang kita inginkan atau butuhkan pada saat kita menegur
mereka terhadap perilaku atau hal yang tidak kita sukai.Komnikasikan secara
intensif hal atau perilaku yang kita inginkan atau butuhkan. Dan pada waktunya,
ketika mereka sudah megalami dan melakukan segala hal atau perilaku yang kita
inginkan atau butuhkan , ucapkanlah terimakasih dengan tulus dan penuh kasih
sayang atas segala usahanya untuk berubah.
5. Menekankan pada Hal-hal yang salah
Kebiasaan
ini hampir sama dengan kebiasaan di atas. Banyak orang tua yang sering
mengeluhkan tentang anak2nya tidak akur, suka bertengkar. Pada saat anak kita
bertengkar, perhatian kita tertuju pada mereka, kita mencoba melerai atau
bahkan memarahi. Tapi apakah kita sebagai orang tua memperhatikan mereka pada
saat mereka bermain dengan akur? Kita seringkali menganggapnya tidak perlu
menyapa mereka karena mereka sedang akur. Pemikiran tersebut keliru, karena hak
itu akan memicu mereka untuk bertengkar agar bisa menarik perhatian orang
tuanya,
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berilah
pujian setiap kali mereka bermain sengan asyik dan rukun, setiap kali mereka
berbagi di antara mereka dengan kalimat sederhana dan mudah dipahami, misal:
”Nah, gitu donk kalau main. Yang rukun.” Peluklah mereka sebagai ungkapan
senang dan sayang.
6. Merendahkan Diri Sendiri
Apa yang
anda lakukan kalau melihat anak anda bermain Playstation lebih dari belajar?
Mungkin yang sering kita ucapkan pada mereka, “Woy… mati in tuh PS nya, ntar
dimarahin loh sama papa kalo pulang kerja!” Atau kita ungkapkan dengan
pernyataan lain, namun tetap dengan figur yang mungkin ditakuti oleh anak pada
saat itu. Contoh pernyataan ancaman diatas adalah ketika yang ditakuti adalah
figur Papa.
Perhatikanlah
kalimat ancaman tersebut. Kita tidak sadar bahwa kita telah mengajarkan pada
anak bahwa yang mampu untuk menghentikan mereka maen ps adalah bapaknya,
artinya figure yang hanya ditakuti adalah sang bapak. Maka jangan heran kalau
jika anak tidak mengindahkan perkataan kita karena kita tidak mampu
menghentikan mereka maen ps.
Apa yang
sebaiknya kita lakukan?
Siapkanlah
aturan main sebelum kita bicara; setelah siap, dekati anak, tatap matanya, dan
katakan dengan nada serius bahwa kita ingin ia berhenti main sekarang atau
berikan pilihan, misal “Sayang, Papa/Mama ingin kamu mandi. Kamu mau mandi
sekarang atau lima menit lagi?” bila jawabannya “lima menit lagi Pa/Ma”. Kita
jawab kembali, “Baik, kita sepakat setelah lima menit kamu mandi ya. Tapi jika
tidak berhenti setelah lima menit, dengan terpaksa papa/mama akan simpan PS nya
di lemari sampai lusa”. Nah, persis setelah lima menit, dekati si anak, tatap
matanya dan katakan sudah lima menit, tanpa tawar menawar atau kompromi lagi.
Jika sang anak tidak nurut, segera laksanakan konsekuensinya.
7. Papa dan Mama Tidak Kompak
Mendidik anak
bukan hanya tanggung jawab para ibu atau bapak saja, tapi keduanya. Orang tua
harus memiliki kata sepakat dalam mendidik anak2nya. Anak dapat dengan mudah
menangkap rasa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan bagi dirinya. Misal,
seorang Ibu melarang anaknya menonton TV dan memintanya untuk mengerjakan PR,
namun pada saat yang bersamaan, si bapak membela si anak dengan dalih tidak
mengapa nonton TV terus agar anak tidak stress.
Jika hal
ini terjadi, anak akan menilai ibunya jahat dan bapaknya baik, akibatnya setiap
kali ibunya memberi perintah, ia akan mulai melawan dengan berlindung di balik
pembelaan bapaknya. Demikian juga pada kasus sebaliknya. Oleh karena itu, orang
tua harus kompak dalam mendidik anak. Di hadapan anak, jangan sampai berbeda
pendapat untuk hal2 yang berhubungan langsung dengan persoalan mendidik anak.
Pada saat salah satu dari kita sedang mendidik anak, maka pasangan kita harus
mendukungnya. Contoh, ketika si Ibu mendidik anaknya untuk berlaku baik
terhadap si Kakak, dan si Ayah mengatakan ,”Kakak juga sih yang mulai duluan
buat gara2…”. Idealnya, si Ayah mendukung pernyataan, “Betul kata Mama, Dik.
Kakak juga perlu kamu sayang dan hormati….”
8. Campur Tangan Kakek, Nenek, Tante, atau Pihak
Lain
Pada saat
kita sebagai orang tua sudah berusaha untuk kompak dan sepaham satu sama lain
dalam mendidik anak-anak kita, tiba-tiba ada pihak ke-3 yang muncul dan
cenderung membela si anak. Pihak ke-3 yang dimaksud seperti kakek, nenek, om,
tante, atau pihak lain di luar keluarga inti.
Seperti
pada kebiasaan ke-7 (Papa dan Mama tidak Kompak), dampak ke anak tetap negatif
bila dalam satu rumah terdapat pihak di luar keluarga inti yang ikut mendidik
pada saat keluarga inti mendidik; Anak akan cenderung berlindung di balik orang
yang membelanya. Anak juga cenderung melawan orang tuanya.
Apa yang
sebaiknya kita lakukan?
Pastikan
dan yakinkan kepada siapa pun yang tinggal di rumah kita untuk memiliki
kesepakatan dalam mendidik dan tidak ikut campur pada saat proses pendidikan
sedang dilakukan oleh kita sebagai orang tua si anak. Berikan pengertian
sedemikian rupa dengan bahasa yang bisa diterima dengan baik oleh para pihak
ke-3.
9. Menakuti Anak
Kebiasaan
ini lazim dilakukan oleh para orang tua pada saat anak menangis dan berusaha
untuk menenangkannya. Kita juga terbiasa mengancam anak untuk mengalihkan
perhatiannya, “Awas ada Pak Satpam, ga boleh beli mainan itu!” Hasilnya memang
anak sering kali berhenti merengek atau menangis, namun secara tidak sadar kita
telah menanamkan rasa takut atau benci pada institusi atau pihak yang kita
sebutkan.
Sebaiknya,
berkatalah jujur dan berikan pengertian pada anak seperti kita memberi
pengertian kepada orang dewasa karena sesungguhnya anak2 juga mampu berpikir
dewasa. Jika anak tetap memaksa, katakanlah dengan penuh pengertian dan
tataplah matanya, “Kamu boleh menangis, tapi Papa/Mama tetap tidak akan
membelikan permen.” Biarkan anak kita yang memaksa tadi menangis hingga diam
dengan sendirinya.
10.
Ucapan dan
Tindakan Tidak Sesuai
Berlaku konsisten mutlak diperlukan dalam
mendidk anak. Konsisten merupakan keseuaian antara yang dinyatakan dan tidakan.
Anak memiliki ingatan yang tajam terhadap suatu janji, dan ia sanga menghormati
orang-orang yang menepati janji baik untuk beri hadiah atau janji untuk memberi
sanksi. So, jangan pernah mengumbar janji ada anak dengan tujuan untuk
merayunya, agar ia mengikuti permintaan kita seperti segera mandi, selalu
belajar, tidak menonton televisi.
Pikirlah terlebih dahulu sebelum berjanji
apakah kita benar-benar bisa memenuhi janji tersebut. Jika ada janji yang tidak
bisa terpenuhi segeralah minta maaf, berikan alasan yang jujur dan minta dia
untuk menentukan apa yang kita bisa lakukan bersama anak untuk mengganti janji
itu.
11.
Hadiah
untuk Perilaku Buruk Anak
Acapkali
kita tidak konsisten dengan pernyataan yang pernah kita nyatakan. Bila hal ini
terjadi, tanpa kita sadari kita telah mengajari anak untuk melawan kita. Contoh
klasik dan sering terjadi adalah pada saat kita bersama anak di tempat umum,
anak merengek meminta sesuatu dan rengekennya menjadi teriakan dan ada gerak
perlawanan. Anak terus mencari akal agar keinginnanya dikabulkan, bahkan
seringkali membuat kita sebagai orang tua malu. Pada saat inilah kita
seringkali luluh karena tidak sabar lagi dengan rengekan anak kita. Akhirnya
kita mengiyakan keinginan si Anak. “Ya sudah;kamu ambil satu permennya. Satu
saja ya!”
Pernyataan
tersebut adalah sebagai hadiah bagi perilaku buruk si Anak. Anak akan
mempelajarinya dna menerapkannya pada kesempatan lain bahkan mungkin dengan
cara yang lebih heboh lagi.
Menghadapi kondisi seperti ini, tetaplah konsisten; tidak perlu malu atau takut
dikatakan sebagai orang tua yang kikir atau tega. Orang beefikir demikian belum
membaca buku tentang ini dan mengalami masalah yang sama dengan kita. Ingatlah
selalu bahwa kita sedang mendidik anak, Sekali kite konsisten anak tak akan
pernah mencobanya lagi. Tetaplah KONSISTEN dan pantang menyerah! Apapun
alasannya, jangang pernah memberi hadiah pada perilaku buruk si anak.
12.
Merasa
Bersalah Karena Tidak Bisa Memberikan yang Terbaik
Kehidupan
metropolitan telah memaksa sebagian besar orang tua banyak menghabiskan waktu
di kantor dan di jalan raya daripada bersama anak. Terbatasnya waktu inilah
yang menyebabkan banyak orang tua merasa bersalah atas situasi ini. Akibat dari
perasaan bersalah ini, kita, para orang tua menyetujui perilaku buruk anaknya
dengan ungkapan yang sering dilontarkan, “Biarlah dia seperti ini mungkin
karena saya juga yang jarang bertemu dengannya…”
Semakin kita merasa bersalah terhadap keadaan, semakin banyak kita menyemai
perilaku buruk anak kita. Semakin kita memaklumi perilaku buruk yang diperbuat
anak, akan semakin sering ia melakukannya. Sebagian besar perilaku anak
bermasalah yang pernah saya (penulis) hadapi banyak bersumber dari cara
berpikir orang tuanya yang seperti ini.
Apa yang
sebaiknya kita lakukan?
Apa pun
yang bisa kita berikan secara benar pada anak kita adalah hal yang terbaik.
Kita tidak bisa membandingkan kondisi sosial ekonomi dan waktu kita dengan
orang lain. Tiap keluarga memiliki masalah yang unik, tidak sama. Ada orang
yang punya kelebihan pada sapek finansial tapi miskin waktu bertemu dengan
anak, dan sebaliknya. Jangan pernah memaklumi hal yang tidak baik. Lakukanlah
pendekatan kualitas jika kita hanya punya sedikit waktu; gunakan waktu yang
minim itu untuk bisa berbagi rasa sepenuhnya antara sisa2 tenaga kita, memang
tidak mudah. Tapi lakukanlah demi mereka dan keluarga kita, anak akan terbiasa.
13.
Mudah
menyerah dan pasrah
Setiap
manusia memiliki watak yang berbeda-beda, ada yang lembut dan ada yang keras.
Dominan flegmatis adalah ciri atak yang dimiliki oleh sebagian orang tua yang
kurang tegas, mudah menyerah, selalu takut salah dan cenderung mengalah,
pasrah. Konflik ini biasanya terjadi bila seorang yang flegmatis mempunyai anak
yang berwatak keras.
Dalam
kondisi kita sebagai orang tua yang tidak tegas dan mudah menyerah, si anak
justru keras dan lebih tegas. Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh lebih
dominan dan mengatur orang tuanya. Akibat lebih lanjut, orang tua sulit
mengendalikan perilaku anaknya dan cenderung pasrah. Saya [penulis] sering
mendengar ucapan dari para orang tua yang Dominan Flegmatis, “Duh… anak saya
itu memang keras betul… saya sudah nggak sanggup lagi mengaturnya.” Atau “Biar
sajalah apa maunya, saya sudah nggak sanggup lagi mendidiknya.”.
Apa yang
sebaiknya kita lakukan?
Belajarlah
dan berusahalah dengan keras untuk menjadi lebih tegas dalam mengambil
keputusan, tingkatkan watak keteguhan hati dan pantang menyerah. Jiak perlu
ambil orang orang yang kita anggap tegas untuk jadi penasihat harian kita.
14.
Marah Yang
Berlebihan
Kita
seringkali menyamakan antara mendidik dengan memarahi. Perlu untuk selalu
diingat, memarahi adalah salah satu cara mendidik yang paling buruk. Pada saat
memarahi anak, kita tidak sedang mendidik mereka, melainkan melampiaskan
tumpukan kekesalan kita karena kita tidak bisa mengatasi masalah dengan baik.
Marah juga seringkali hanya berupa upaya untuk melemparkan kesalahan pada pihak
lain [dan biasanya yang lebih lemah, kalo ama yang lebih kuat ya takut].
Apa yang
sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah bicara pada saat marah! Jadi tahanlah dengan cara yang nyaman untuk kita
lakukan seperti masuk kamar mandi atau pergi menghindar sehingga amarah mereda.
Yang perlu dilakukan adalah bicara “tegas” bukan bicara “keras”. Bicara yang
tegas adalah dengan nada yang datar, dengan serius dan menatap wajah serta
matanya dalam dalam. Bicara tegas adalah bicara pada saat pikiran kita
rasional, sedangkan bicara keras adalah pada saat pikiran kita dikuasai emosi.
Satu contoh
lagi yang kurang baik, pada saat marah biasanya kita emosi dan
mengucapkan/melakukan hal hal yang kelak kita sesali, setelah ini terjadi,
biasanya kita akan menyesal dan berusaha memperbaikinya dengan memberikan
dispensasi atau membolehkan hal hal yang sebelumnya kita larang. Bila hal ini
berlangsung berulang kali, maka anak kita akan selalu berusaha memancing amarah
kita, yang ujung ujungnya si anak menikmati hasilnya. Anak yang sering dimarahi
cenderung tidak jadi lebih baik kok.
15.
Gengsi
untuk Menyapa
Kita pasti
pernah mengalami bahwa kita terlanjur marah besar pada anak, biasanya amarah
terbawa lebih dari sehari, akibat dari rasa kesal yang masih tersisa dan rasa
gengsi, kita enggan menyapa anak kita. Masing masing pihak menunggu untuk
memulai kembali hubungan yang normal.
Apa yang
harus kita lakukan agar komunikasi mencair kembali? Siapa yang seharusnya
memulai? Kita sebagai orangtua lah yang seharusnya memulai saat anak mulai
menunjukkan tanda tanda perdamaian dan mengikuti keinginan kita. Dengan cara
ini kita dapat menunjukkan pada anak bahwa kita tidak suka pada sikap sang
anak, bukan pada pribadinya.
16.
Memaklumi
yang tidak pada tempatnya
Ini
biasanya terjadi pada kebanyakan orang tua konservatif. Misalnya melihat anak
laki laki yang suka usil, nakal banget dan suka ngacak, orang tuanya cenderung
mengatakan, “Yah… anak cowo emang harus bandel” atau saat melihat kakak adik
lagi jambak jambakan, mamanya bilang “maklumlah… namanya juga anak anak”. Atau
bahkan ketika si anak memukul teman atau mbaknya, orang tua masih juga sempat
berkelit dengan mengatakan “ya begitu deh, maklumlah namanya juga anak anak.
Nggak sengaja…”
Bila kita selalu memaklumi tindakan keliru yang dilakukan anak anak, otomatis
si anak berpikir perilakunya sudah benar, dan akan jadi sangat buruk kalau
terbawa sampai ke dewasa.
Apa yang
sebaiknya kita lakukan?
Kita tidak
perlu memaklumi hal yang tidak perlu dimaklumi kok, kita harus mendidik setiap
anak tanpa kecuali sesuai dengan sifat dasarnya. Setiap anak bisa dididik
dengan tegas[ingat: bukan keras] sejak usia 2 tahun. Semakin dini usianya,
semakin mudah untuk dikelola dan diajak kerja sama. Anak kita akan mau bekerja
sama selama kita selalu mengajaknya dialog dari hati ke hati, tegas, dan
konsisten. Ingat, tidak perlu menunggu hingga usianya beranjak dewasa, karena semakin
bertambah usia, semakin tinggi tingkat kesulitan untuk mengubah perilaku
buruknya.
17.
Penggunaan
istilah yang tidak jelas maksudnya
Seberapa
sering kita sebagai orang tua mengungkapkan pernyataan seperti “Awas ya, kalau
kamu mau diajak sama mama/papa, tidak boleh nakal!” atau, “awas ya, kalau nanti
diajak sama mama/papa, jangan bikin malu mama”, bisa juga terungkap, “kalo mau
jalan jalan ke taman bermain, jangan macam macam ya”.
Nah, tanpa disadari kita seringkali menggunakan istilah istilah yang sulit
dimengerti ataupun bermakna ganda. Istilah ini akan membingungkan anak kita.
dalam benak mereka bertanya apa yang dimaksud dengan nakal, tingkah laku apa
yang termasuk dalam kategori nakal, begitu pula dengan istilah “jangan macam
macam”, perilaku apa yang termasuk kategori “macam macam”. Selain bingung,
mereka juga akan menebak nebak arti dari istilah istilah tersebut.
Apa yang
sebaiknya kita lakukan?
Bicaralah
dengan jelas dan spesifik, misalnya “Sayang, kalau kamu mau ikut mama/papa,
tidak boleh minta mainan, permen, dan tidak boleh berteriak teriak di kasir
seperti kemarin ya”. Hal ini penting agar anak mengetahui batasan batasan apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta jangan lupa menyepakati apa
konsekuensinya bila kesepakatan ini dilanggar.
18.
Mengharap
perubahan instan
Kita
terbiasa hidup dalam budaya yang serba instant, seperti mie instant, susu
instant, teh instant. Sehingga kita anak berbuat salah, kita sering ingin
sebuah perubahan yang instant pula, misal ketika biasa terlambat bangun, nggak
beresin tempat tidur, sulit dimandikan, kita ingin agar anak kita berubah total
dalan jangka waktu sehari.
Apabila
kita sering memaksakan perubahan pada anak kita dalam waku singkat tanpa
tahapan yang wajar, kemungkinan besar anak sulit memenuhinya. Dan ketika ia
gagal dalam memenuhi keinginan kita, ia akan frustasi dan tidak yakin bisa
melakukanannya lagi. Akibatnya ia memilih untuk melakukan perlawanan seperti
banyak bikin alasan, acuh tak acuh, atau marah marah pada adiknya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita
mengharapkan perubahan kebiasaaan pada anak, berikanlah waktu untuk tahapan
tahapan perubahan yang rasional untuk bisa dicapainya. Hindari target perubahan
yang tidak mungkin bisa dicapainya. Bila mungkin, ajaklah ia untuk melakukan
perubahan dari hal yang paling mudah. Biarkanlah ia memilih hal yang paling
mudah menurutnya untuk diubah. Keberhasilannya untuk melakukan perubahan tersebut
memotivasi anak untuk melakukan perubahan lainnya yang lebih sulit. Puji dan
jika perlu rayakan keberhasilan yang dicapainya, sekecil dan sesederhana apapun
perubahan itu. Hal ini untuk menunjukkan betapa seriusnya perhatian kita
terhadap usaha yang telah dilakukannya. Pusatkan perhatian dan pujian kita pada
usahanya, bukan pada hasilnya.
19.
Pendengar
yang buruk
Sebagian
besar orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak anaknya. Benarkah? Bila
ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orang tua lebih suka menyela,
langsung menasehati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal usul
kejadiannya.
Sebagai contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya pulangnya
siang, dia datang di sore hari. Kita tidak mendapat keterangan apapun darinya
atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita kesal menunggu dan sekaligus
khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung
menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak
hendak bicara, kita selalu memotongnya. Akibatnya ia amalah tidak mau bicara
dan marah pada kita.
Bila kita
tidak berusaha mendengarkan mereka, maka mereka pun akan bersikap seperti itu
pada kita dan akan belajar mengabaikan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita
tidak menghendaki hal ini terjadi, maka mulai saat ini jadilah pendengar yang
baik. Perhatikan setiap ucapannya. Ajukan pertanyaan pertanyaan untuk
menunjukkan ketertarikan kita akan persoalan yang dihadapinya.
20.
Selalu
menuruti permintaan anak.
Apakah anak
kita adalah anak semata wayang? Atau anak laki laki yang ditunggu tunggu dari
beberapa anak perempuan kakak-kakaknya? Atau mungkin anak yang sudah bertahun
tahun ditunggu tunggu? Fenomena ini seringkali menjadikan orang tua teramat
sayang pada anaknya sehingga ia menerapkan pola asuh open bar, atau mo apa aja
boleh atau dituruti.
Seperti
Radja Kecil, semakin hari tuntutannya semakin aneh dan kuat, jika ini sudah
menjadi kebiasaan akan sulit sekali membendungnya. Anak yang dididik dengan
cara ini akan menjadi anak yang super egois, tidak kenal toleransi, dan tidak
bisa bersosialisasi.
Apa yang
sebaiknya kita lakukan?
Betapapun
sayangnya kita pada anak, jangan lah pernah memberlakukan pola asuh seperti
ini. Rasa sayang tidak harus di tunjukkan dengan menuruti segala kemauannya.
Jika kita benar sayang, maka kita harus mengajarinya tentang nilai baik dan
buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang nggak. Jika tidak, rasa
sayang kita akan membuat membuatnya jadi anak yang egois dan ‘semau gue’. Inilah
yang dalam bahasa awam sering disebut anak manja.
21.
Terlalu
Banyak Larangan
Ini adalah
kebalikan dari kebiasaan di atas. Bila Kita termasuk orang tua yang
berkombinasi Melankolis dan Koleris, kita mesti berhati2 karena biasanya
kombinasi ini menghasilkan jenis orang tua yang “Perfectionist”. Orang tua
jenis ini cenderung ingin menjadikan anak kita seperti apa yang kita inginkan
secara SEMPURNA, kita cenderung membentuk anak kita sesuai dengan keinginan
kita; anak kita harus begini tidak boleh begitu; dilarang melakukan ini dan
itu.
Pada
saatnya anak tidak tahan lagi dengan cara kita. Ia pun akan melakukan
perlawanan, baik dengan cara menyakiti diri (jika anak kita tipe sensitive)
atau dengan perlawanan tersembunyi (jika anak kita tipe keras) atau dengan
perang terbuka (jika anak kita tipe ekspresif keras). Oleh karena itu,
kurangilah sifat perfeksionis kita, Berilah izin kepada anak untuk melakukan
banyak hal yang baik dan positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog agar kita
bisa melihat dan memahami sudut pandang orang lain. Bangunlah situasi saling
mempercayai antara anak dan kita. Kurangilah jumlah larangan yang berlebihan
dengan meminta pertimbangan pada pasangan kita. Gunakan kesepakatan2 untuk
memberikan batas yang lebih baik. Misal, kamu boleh keluar tapi jam 9 malam
harus sudah tiba di rumah. Jika kemungkinan pulang terlambat, segera beri tahu
Papa/Mama.
22.
Terlalu
Cepat Menyimpulkan
Ini adalah
gejala lanjutan jika kita sebagai orang tua yang mempunyai kebiasaan menjadi
pendengar yang buruk. Kita cenderung memotong pembicaraan pada saat anak kita
sedang memberi penjelasan, dan segera menentukan kesimpulan akhir yang biasanya
cenderung memojokkan anak kita. Padahal kesimpulan kita belum tentu benar, dan
bahan seandainya benar, cara seperti ini akan menyakitkan hati anak kita.
Seperti
contoh anak yang pulang terlambat. Pada saat anak kita pulag terlambat dan
hendak menjelaskan penyebabnya, kita memotong pembicaraannya dengan ungkapan,
“Sudah! Nggak pake banyak alesan.” Atau “Ah, Papa/Mama tahu, kamu pasti maen ke
tempat itu lagi kan?!”.
Jika kita mlakukan
kebiasaan ini terus menerus, anak akan berpikir kita adalah orang tua ST 001
[alias Sok Tau Nomor Satu], yang tidak mau memahami keadaan dan menyebalkan.
Lalu mereka tidak mau bercerita atau berbicara lagi, dan akibat selanjutnya
sang anak akan benar benar melakukan hal hal yang kita tuduhkan padanya. Ia
tidak mau mendengarkan nasehat kita lagi, dan pada tahapan terburuk, dia akan
pergi pada saat kita sedang berbicara padanya. Pernahkah anda mengalami hal
ini?
Apa yang
sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah memotong pembicaraan dan mengambil kesimpulan terlalu dini. Tak seorang
pun yang suka bila pembicaraannya dipotong, apalagi ceritanya disimpulkan oleh
orang lain.
Dengarkan, dengarkan, dan dengarkan sambil memberikan tanggapan positif dan
antusias. Ada saatnya kita akan diminta bicara, tentunya setelah anak kita
selesai dengan ceritanya. Bila anak sudah membuka pertanyaan, “menurut
Papa/Mama bagaimana?” artinya ia sudah siap untuk mendengarkan penuturan atau
komentar kita.
23.
Mengungkit
kesalahan masa lalu
Kebiasan
menjadi pendengar yang buruk dan terlalu cepat menyimpulkan akan dilanjutkan
dengan penutup yang tidak kalah menyakitkan hati anak kita, yakni dengan
mengungkit ungkit catatan kesalahan yang pernah dibuat anak kita. Contohnya,
“Tuh kan Papa/Mama bilang apa? Kamu tidak pernah mau dengerin sih, sekarang
kejadian kan. Makanya dengerin kalau orang tua ngomong. Dasar kamu emang anak
bodo sih.”
Kiat
berharap dengan mengungkit kejadian masa lalu, anak akan belajar dari masalah.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya, ia akan sakit hati dan berusaha
mengulangi kesalahannya sebagai tindakan balasan dari sakit hatinya.
Apa yang
sebaiknya kita lakukan?
Jika kita
tidak ingin anak berperilaku buruk lagi, jangan lah diungkit ungkit masa
lalunya. Cukup dengan tatapan mata, jika perlu rangkullah ia. Ikutlah berempati
sampai dia mengakui kesalahan dan kekeliruannya. Ucapkan pernyataan seperti
“manusia itu tempatnya salah dan lupa, semoga ini menjadi pelajaran berharga
buat kamu”, atau “Papa/mama bangga kamu bisa menemukan hikmah positif dari
kejadian ini”. Jika ini yang kita lakukan, maka selanjutnya dia akan lebih
mendengar nasehat kita. Coba dan buktikanlah!.
24.
Suka
Membandingkan
Hal yang
paling menyebalkan adalah saat kita dibandingkan dengan orang lain. Bila kita
sedang berada di suatu acara dan bertemu dengan orang yang berpakaian hampir
sama atau berwarna sama, kita merasa tidak nyaman untuk berdekatan. Apalagi
jiak disbanding bandingkan [FTR, saya tidak merasa seperti ini lho!]
Secara psikologis, kita sangat tdiak suka bila keberadaan kita baik secara
fisik atau sifat sifat kita dibandingkan dengan orang lain. Coba ingat ingatlah
pengalaman kita saat ada orang yang membandingkan kita, bagaimana perasaan kita
saat itu?
Tetapi anehnya, kebanyakan orang tua entah kenapa justru sering melakukan hal
ini pada anaknya. Misal membandingkan anak yang malas dengan yang rajin. Anak
yang rapi dengan yang gedabrus. Anak yang cekatan dengan anak yang lamban.
Terutama juga anak yang mendapat nilai tinggi di sekolah dengan anak yang
nilainya rendah. Ungkapan yang sering terdengar biasanya seperti, “Coba kamu
mau rajin belajar kayak adik mu, maka pasti nilai kamu tidak seperti ini!”.
Jika kita
tetap melakukan kebiasaan ini, maka ada beberapa akibat yang langsung kita
rasakan; anak kita makin tidak menukai kita. anak yang dibandingkan akan iri
dan dengki dengan si pembanding. Anak pembanding akan merasa arogan dan tinggi
hati.
Apa yang
sebaiknya kita lakukan?
Tiap
manusia terlahir dengan karakter dan sifat yang unik. Maka jangan sekali kali
membandingkan satu dengan yang lainnya. Catatlah perubahan perilaku masing
masing anak. Jika ingin membandingkan, bandingkanlah dengan perilaku mereka di
masa lalu, ataupun dengan nilai nilai ideal yang ingin mereka capai. Misalnya,
“Eh, biasanya anak papa/mama suka merapikan tempat tidur, kenapa hari ini nggak
ya?”
25.
Paling
benar dan paling tahu segalanya
Egosentris
adalah masa alamiah yang terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Usia tersebut adalah
masa ketika anak merasa paling benar dan memaksakan kehendaknya. Tapi entah
mengapa ternyata sifat ini terbawa dan masih banyak dimiliki oleh para orang
tua. Contoh ungkapan orang tua, “ah kamu ini anak bau kencur, tau apa kamu soal
hidup.” Atau, “kamu tau nggak, kalo papa/mama ini sudah banyak makan asam garam
kehidupan, jadi nggak pake kamu nasehatin papa/mama!”.
Jika kita
memiliki kebiasaan semacam ini, maka kita membuat proses komunikasi dengan anak
mengalami jalan buntu. Meskipun maksud kita adalah untuk menunjukkan
superioritas kita di depan anak, tapi yang ditangkap anak adalah semacam
kesombongan yang luar biasa, dan tentu saja tak seorang pun mau mendengarkan
nasehat orang yang sombong.
Apa yang
seharusnya kita lakukan?
Seringkali
usia dijadikan acuan tentang banyaknya pengetahuan juga banyaknya pengalaman.
Pada zaman dulu hal ini bisa jadi benar, namun untuk saat ini, kondisi itu
tidak berlaku lagi. Siapa yang lebih banyak mendapatkan informasi dan mengikuti
kegiatan kegiatan, maka dialah yang lebih banyak tahu dan berpengalaman.
Jadi janganlah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat, paling
alim. Dengarkanlah setiap masukan yang datang dari anak kita.
26.
Saling
melempar tanggung jawab
Mendidik
anak terutama menjadi tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu. Bila kedua
belah pihak merasa kurang bertanggung jawab, maka proses pendidikan anak akan
terasa timpang dan jauh dari berhasil. Celakanya lagi, bila orang tua sudah
mulai merasakan dampak perlawanan dari anak anaknya, yang sering terjadi malah
saling menyalahkan satu sama lain.
Pernyataan yang kerap muncul adalah, “kamu emang nggak becus ngedidik anak”,
dan kemudian dibalas “enak aja lo ngomong begitu, nah kamu sendiri, selama ini
kemana aja?!”. Jika cara ini yang dipertahankan di keluarga, akankah
menyelesaikan masalah? Tunggu saja hasilnya, pasti orang tua lah yang akan
menuai hasilnya, sang anak akan merasa perilaku buruknya adalah bukan karena
kesalahannya, tapi karena ketidak becusan salah satu dari orang tuanya. Jelas
anak kita akan merasa terbela dan semakin berperilaku buruk.
Apa yang
seharusnya kita lakukan?
Hentikan
saling menyalahkan. Ambillah tanggung jawab kita selaku orang tua secara
berimbang.keberhasilan pendidikan ada di tangan orang tua. Pendidikan adalah
kerja sama tim, da bukan individu. Jangan pakai alasan tidak ada waktu, semua
orang sama sama memiliki waktu 24 jam sehari, jadi aturlah waktu kita dengan
berbagai macam cara dan kompaklah selalu dengan pasangan kita.
Selalu lakukan introspeksi diri sebelum introspeksi orang lain.
27.
Kakak harus
selalu mengalah
Di negeri
ini terdapat kebiasaan bahwa anak yang lebih tua harus selalu mengalah pada
saudaranya yang lebih muda. Tampaknya hal itu sudah menjadi budaya. Tapi
sebenarnya, adakah dasar logikanya dan dimana prinsip keadilannya?
Ada satu
contoh nyata seperti berikut:
Ada seorang
kakak beradik, kakak bernama Dita dan adik bernama Rafiq. Neneknya selaku
pengasuh utama selalu memarahi Dita ketika Rafiq menangis. Tanpa mengetahui
duduk persoalan serta siapa yang salah dan benar, si Nenek selalu membela si
adik dan melimpahkan kesalahan pada kakaknya. “Kamu ini gimana sih? Sudah besar
kok tidak mau mengalah ama adiknya.” Begitulah ucapan yang keluar dari mulut si
Nenek. Terkadang dibumbui dengan cubitan pada kakaknya.
Apa yang
terjadi selanjutnya? Dita menjadi anak yang tidak memiliki rasa percaya diri.
Ia pun mulai membenci adiknya. Lama kelamaan Dita mulai banyak melawan atas
ketidak adilan ini, dan yang terjadi kemudian adalah kedua bersaudara ini makin
sering bertengkar. Sementara Rafiq yang selalu dibela bela menjadi makin egois
dan makin berani menyakiti kakaknya, selalu merasa benar dan memberaontak. Sang
nenek perlahan lahan menobatkan Radja Ketjil yang lalim di tengah keluarga ini.
Apa yang
seharusnya kita lakukan?
Anak harus
diajari untuk memahami nilai benar dan salah atas perbuatannya terlepas dari
apakah dia lebih muda atau lebih tua. Nilai benar dan salah tidak mengenal
konteks usia. Benar selalu benar dan salah selalu salah berapapun usia
pelakunya.
Berlakulah adil. Ketahuilah informasi secara lengkap sebelum mengambil
keputusan. Jelaskan nilai benar dan salah pada masing masing anak, buat aturan
main yang jelas yang mudah dipahami oleh anak anak anda.
28.
Menghukum
secara fisik
Dalam
kondisi emosi, kita cenderung sensitif oleh perilaku anak, dimulai dengan suara
keras, dan kemudian meningkat menjadi tindakan fisik yang menyakiti anak.
Jika kita
terbiasa dengan keadaan ini, kita telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan
trengginas, suka menyakiti orang lain dan membangkang secara destruktif.
Perhatikan jika mereka bergaul dengan teman sebayanya. Percaya atau tidak, anak
akan meniru tindakan kita yang suka memukul. Anak yang suka memukul temannya
pada umumnya adalah anak yang sering dipukuli di rumahnya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah sekalipun menggunakan hukuman fisik kepada anak, mencubit, memukul, atau
menampar bahkan ada juga yang pakai alat seperti cambuk, sabuk, rotan, atau
sabetan.
Gunakanlah
kata kata dan dialog, dan jika cara dialog tidak berhasil maka cobalah evaluasi
diri kita. Temukanlah jenis kebiasaan yang keliru yang selama ini telah kita
lakukan dan menyebabkan anak kita berperilaku seperti ini.
29.
Menunda
atau membatalkan hukuman
Kita semua
tahu bahaya yang luar biasa dari merokok, mulai dari kanker, impotensi, sampai
gangguan kehamilan dan janin. Tapi mengapa masih banyak yang tidak peduli dan
tetap membandel untuk terus menjadi ahli hisap? Jelas karena akibat dari rokok
itu terjadi kemudian dan bukan seketika itu juga.
Begitu juga
dengan anak kita. Jika anda menjanjikan sebuah konsekuensi hukuman atau sanksi
bila anak berperilaku buruk, jangan menunggu waktu yang terlalu lama, menunda,
atau bahkan membatalkan karena alasan lupa atau kasihan.
Bila telah
terjadi kesepakatan antara kita dan anak seperti tidak boleh minta minta
dibelikan permen atau mainan dan ternyata anak mencoba coba untuk merengek,
kita ingatkan kembali pada kepadanya tentang kesepakatan yang kita buat
bersama. Anak biasanya akan berhenti merengek. Namun sayangnya kietika anak
berhenti merengek , kita menganggap masalah susah selesai dan akhirnya kita
menunda atau bahkan membatalkan hukuman entah karena lupa atau kasihan. Apa
akibatnya? Anak akan mempunya anggapan bahwa kita hanya omong doang, maka
mereka akan mempunya tendensi untuk melanggar kesepakatan karena hukuman tidak
dilaksanakan.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jila kita
sudah mempunyai kesepakatan dan anak melanggarnya, maka sanksi harus
dilaksanakan, jika kita kasihan, kita bisa mengurangi sanksinya, dan usahakan
hukumanya jangan bersifat fisik, tapi seperti pengurangan bobot kesukaan mereka
seperti jam bermain, menonton tv, ataupun bermain video game.
30.
Terpancing
Emosi
Jika ada
keinginannya yang tidak terpenhi anak sering kali rewel atau merengak, menagis,
berguling dsb, dengan tujuan memancing emosi kita yang apda kahirnya kita marah
atau malah mengalah. Jika kita terpancing oleh emosi anak, anak akan merasa
menang, dan merasa bisa megendalikan orang tuanya. Anak akan terus berusaha
mengulanginya pada kesempatan lain dengan pancingan emosi yang lebih besar la
gi.
Apa yang
seharusnya kita lakukan?
Yang
terbaik adalah diam, tidak bicara, dan tidak menanggapi. Jangan pedulikan ulah
anak kita. Bila anak menangis katakan padanya bahwa tangisannya tidak akan
mengubah keputusan kita. Bila anak tidak menangis tapi tetap berulah, kita
katakan saja bahwa kita akan mempertimbangkan keputusan kita dengan catatan si
anak tidak berulah lagi. Setelah pernyataan itu kita keluarkan, lakukan aksi
diam. Cukup tatap dengan mata pada anak kita yang berulah, hingga ia berhenti
berulah, Bila proses ini membutuhkan waktu lebih dari 30 menit tabahlah untuk
melakukannya. Dalam proses ini kita jangan malu pada orang yang memperhatikan
kita; dan jangan pula ada orang lain yang berusaha menolong anak kita yang
sedang berulah tadi… SEKALI KITA BERHASIL MEMBUAT ANAK KITA MENGALAH, MAKA
SELANJUTNYA DIA TIDAK AKAN MENGULANGI UNTUK YANG KEDUA KALINYA.
31.
Menghukum
Anak Saat Kita Marah
Hal yang
perlu kita perhatikan dan selalu ingat adalah jangan pernah memberikan sanksi
atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat
emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, baik dalam
bentuk kata2 maupun hukuman akan cenderung menyakiti dan menghakimi dan tidak
menjadikan anak lebih baik. Kejadin tersebut akan membekas meski ia telah
beranjak dewasa. Anak juga bisa mendendam pada orang tuanya karena sering
mendapatkan perlakuan di luar batas.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bila kita
sedang sangat marah segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk
bisa menurunkan amarah kita dengan segera.
Saat marah
kita cenderung memberikan hukuman yang seberat2ya pada anak kita, dan hanya
akan menimbulkan perlawanan baru yang lebih kuat dari anak kita, sementara
tujuan pemberian sanksi adalah untuk menyadarkan anak supaya ia memahami
perilaku buruknya. Setelah emosi reda, barulah kita memberikan hukuman yang
mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuat. Ingat, prinsip
hukuman adalah untuk mendidik bukan menyakiti. Pilihlah bentuk sanksi atau
hukuman yang mengurangi aktivitas yang disukainya, seperti mengurangi waktu
main game, atau bermain sepeda.
32.
Mengejek
Orang tua
yang biasa menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah membuat anak
menjadi kesal. Dan ketika anak memohon kepada kita untuk tidak menggodanya,
kita malah semakin senang telah berhasil membuatnya kesal atau malu. Hal ini
akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan yang sering terjadi anak tidak
menghargai kita lagi. Mengapa? Karena ia menganggap kita juga seperti teman2nya
yang suka menggodanya,
Apa yang
seharusnya kita lakukan?
Jika ingin
bercanda dengan anak kita, pilihlan materi bercanda yang tidak membuatnya malu
atau yang merendahkan dirinya. Akan jauh lebih baik jika seolah-olah kitalah
yang jadi badut untuk ditertawakan. Anak kita tetap aka n menghormati kita
sesudah acara canda selesai. Jagalah batas2 dan hindari bercanda yang bisa
membuat anak kesal apalagi malu. Bagimana caranya? Lihat ekspresi anak kita.
Apakah kesal dan meminta kita segera menghentikannya? Bila ya, segeralah
hentikan dan jika perlu meminta maaflah ayas kejadian yang baru terjadi.
Katakan bahwa kita tidak bermaksud merendahkannya dan kita berjanji tidak akan
mengulanginya lagi.
33.
Menyindir
Terkadang
karena saking marahnya orang tua sering mengungkapkannya dengan kata2 singkat
yang pedas dengan maksud menyindir, seperti, “Tumben hari gini sudah pulang”,
atau “Sering2 aja pulang malem!” atau”Memang kamu pikir Mama/Papa in satpam
yang jaga pintu tiap malam?”.
Kebiasaan
ini tidak akan membuat anak kita menyadari akan perilaku buruknya tapi malah
sebaliknya akan mebuat ia semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita.
Kita telah menyakiti hatinya dan membuatnya tidak ingin berkomunikasi dengan
kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Katakanlah
secara langsung apa yang kita inginkan dengan kalimat yang tidak menyinggung
perasaan, memojokkan bahkan menyakiti hatinya. Katakan saja, “Sayang, Papa/Mama
khawatir akan keselamatan kamu lho kalo kamu pulang terlalu malam”. Dan
sejenisnya.
34.
Memberi
julukan yang buruk
Kebiasaan
memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah diri,
tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Adakalanya anak ingin
membuktikan kehebatan julukan atau gelar tersebut pada orang tuanya.
Solusinya
Mengganti
julukan buruk dengan yang baik, seperti, anak baik, anak hebat, anak bijaksana.
Jika tidak bisa menemukannya cukup dengan panggil dengan nama kesukaannya saja.
35.
Mengumpan
Anak yang Rewel
Pada saat
anak marah, merengek atau menangis, meminta sesuatu de ngan memaksa, kita biasanya
mengalihkan perhatiannya kepada hal atau barang lain. Hal ini dimaksudkan
supaya anak tidak merengek lagi. Namun yang terjadi malah sebaliknya, rengekan
anak semakin menjadi-jadi. Contohnya, anak menangis karena ia minta dibelikan
mainan, Kemusian kita berusaha membuatnya diam dengan berusaha mengalihkan
perhatiannya seperi, ” Tuh lihat tuh ada kakak pake baju warna apa tuh…”atau”
Lihat ini lihat, gambar apa ya lucu banget?”
Ingatlah selalu, pada saat anak kita sedang fokus pada apa yang diinginkannya,
ia akan memancing emosi kita dan emosinya sendiri akan menjadi sensitif. Anak
kita pada umumnya adalah anak yang cerdas. ia tidak ingin diakihkan ke hal lain
jika masalah ini belum ada kata sepakat penyelesaiannya. Semakin kita berusaha
mengalihkan ke hal lain, semakin marah lah anak kita.
Apa yang
sebaiknya dilakukan?
Selesaikan
apa yang diinginkan oleh anak kita dengan membicarakannya dan membuat
kesepakatan di tempat, jika kita belum sempat membuat kesepakatan di rumah.
Katakan secara langsung apa yang kita inginkan terhadap permintaan anak
tesebut, seperti “Papa/Mama belum bisa membelikan mainan itu saat ini. Jika
kamu mau harus menabung lebih dahulu. Nanti Papa/Mama ajari cara menabung. Bila
kamu terus merengak kita tidak jadi jalan-jalan dan langsung pulang.” Jika
kalimat ini yang kita katakan dan anak kita tetap merengek, segeralah kita
pulang meski urusan belanja belum selesai, Untuk urusan belanja kita masih bisa
menundanya. Tapi jangan sekali-kali menunda dalam mendidik anak.
36.
Televisi
sebagai agen Pendidikan Anak
Perilaku
anak terbentuk karena 4 hal:
Berdasar
kepada siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya: kita atau TV?
Oleh siapa
yang dia percaya: apakah anak percaya pada kata2 kita atau ketepatan wakyu
program2 TV?
Oleh siapa
yang meyampaikannya lebih menyenangkan: apakah kita menasehatinya dengan cara
menyenangkan atau program2 TV yang lebih menyenangkan?
Oleh siapa
yang sering menemaninya: kita atau TV?
Apa yang
seharusnya kita lakukan?
Bangun
komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tersebut yang menjadi faktor
pembentuk perilaku anak kita.
Menggantinya
dengan kegiatan di rumah atau di luar rumah yang padat bagi anak2nya.
Gantilah
program TV dengan film2 pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai
dari kartun hingga CD dalam bentuk permainan edukatif.
37.
Mengajari
Anak untuk Membalas
Sebagian
anak ada yang memiliki kecenderungan suka memukul dan sebagian lagi menjadi
objek penderita dengan lebih banyak menerima pukulan dari rekan sebayanya. Sebagian
orang tua biasanya tidak sabar melihat anak kita disakiti dan memprovokasi anak
kita unutuk membalasnya. Hal ini secara tidak langsung mengajari anak balas
dendam. Sebab pada saat itu emosi anak sedang sensitif dan apa yang kita
ajarkan saat itu akan membekas. Jangan kaget bila anak kita sering membalas
atau membalikkan apa yang kita sampaikan kepadanya.
Apa yang
sebaiknya kita lakukan?:
Mengajarkan
anak untuk menghindari teman-teman yang suka menyakiti.
Menyampaikan
pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan
buruk dari anaknya.
Ajaklah
orang tua anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di
radio atau media lainnya.
Sumber: http://tjokroaminoto360.wordpress.com/